Kok pesimis gitu sih? Harus optimis dong! Kita bisa melalui ini secepatnya kok!
Optimis itu kan kalau segala sesuatu berada di bawah kendali kita sepenuhnya? Kalau masalah Covid-19 ini kan masalah kompleks? Peran majemuk dari para pemegang kepentingan sangat menentukan. Jadi kamu nggak bisa sendirian. Seorang Presiden pun tidak bisa mengatasi masalah ini di negaranya sendirian walaupun optimismenya setinggi langit.
Optimis itu kan kalau segala sesuatu berada di bawah kendali kita sepenuhnya? Kalau masalah Covid-19 ini kan masalah kompleks? Peran majemuk dari para pemegang kepentingan sangat menentukan. Jadi kamu nggak bisa sendirian. Seorang Presiden pun tidak bisa mengatasi masalah ini di negaranya sendirian walaupun optimismenya setinggi langit.
Lalu kenapa harus 2028?
Ya lihat saja. Walaupun itu hanya opini, tapi sebenarnya ada banyak faktor yang bisa kita teliti kalau mau lebih cermat. Pengalaman negeri ini selama setahun pandemi Covid-19, saya yakin sudah bisa banyak data yang bisa disajikan. Ya pasti bisa diprediksi lah, bagaimana kecenderungan penyakit ini. Bagaimana trend kasusnya, tingkat kematiannya, attack rate virusnya, efektivitas pencegahannya, efektivitas penanganannya, dan masih banyak lagi.
Mau dibahas satu persatu? Ayook!
Trend kasus
Bagaimana nggak ngeri, ketika pada akhir Januari 2021 ini kasus Covid-19 yang dilaporkan https://covid19.go.id/ sudah tembus angka satu juta. Pada saat itu tambahan kasus per hari mengalami tren di atas 10.000 kasus dalam dua pekan terakhir, sementara fasilitas kesehatan "nyaris kolaps" dengan sejumlah orang yang dinyatakan positif Covid-19 mengaku kesulitan mendapat perawatan. Sejak awal 2020 trend kasus yang diprediksi akan melandai di Juli 2020, ternyata tidak ada kecenderungan menurun sama sekali. Bahkan kasus ini terus merangkak naik di Januari 2021. Kasus kematian sudah mencapai 28.855 per 27 Januari 2021. Setiap bulan dilaporkan “pecah rekor” baru dalam jumlah kasus, mau bikin prediksi turun lagi di tahun 2021?
Attack Rate
Attack rate (AR) suatu wilayah didapatkan dengan membagi jumlah kasus dengan jumlah penduduk. AR ini kemudian menjadi parameter yang menunjukkan besarnya risiko penduduk sebuah wilayah untuk tertular virus corona. Semakin besar AR di suatu wilayah, semakin besar pula risiko penduduk yang tinggal di wilayah tersebut untuk tertular atau terdeteksi.
Di Jawa Timur yang memiliki jumlah kasus positif tertinggi di Indonesia di pertengahan 2020, Attack rate (AR)nya pada saat itu untuk kota Surabaya tercatat 187 per 100 ribu penduduk. Sementara di Jakarta pada saat yang sama attack rate nya 115 per 100 ribu penduduk. Sedangkan di Januari 2021, kita mendapati kasus yang sudah tembus 1.024.294 dibanding jumlah penduduk Indonesia 250 juta. Dengan cara perhitungan yang sama, AR diperkirakan sudah mencapai 410 per 100 ribu penduduk.
Awal 2021 ini DKI Jakarta sudah mengambil alih posisi AR tertinggi. Salah satu sumber juga menyebutkan bahwa dari hasil pemeriksaan tes polymerase chain reaction alias PCR dari para warga untuk mendeteksi corona di salah satu RS Swasta di Jakarta, dari jumlah spesimen sebanyak 16.924 yang diperiksa terkonfirmasi sebanyak 14.218 positif Covid-19. Ini sudah ngeri sekali!
Kasus sembuh memang dilaporkan menggembirakan, ya karena penyakit ini self-limiting disesase. Itu tidak menggambarkan keberhasilan yang membanggakan kalau kasus justru terus meningkat seperti ini.
Bagaimana dengan efektivitas pencegahannya?
Prokes atau protokol kesehatan yang digembar-gemborkan sepertinya hanyalah suara angin yang berhembus di dedaunan di pohon-pohon. Orang banyak yang tidak peduli. Kedisiplinan masyarakat Indonesia sejak dulu memang tidak diragukan lagi. Ya, tau lah apa maksudnya. Masyarakat kita cenderung sebagai risk-taker, yaitu para pengambil risiko yang sangat handal. Jadi kalau mau diedukasi sampai memble juga tidak akan mau menggubrisnya. Masuk telinga kiri, keluar dari telinga kiri juga. Mental! Masih mending masuk ke telinga satu sisi lalu keluar lewat sisi sebelahnya.
Coba bikin potret masyarakat di pasar-pasar, di kerumunan pesta-pesta, di tempat-tempat ibadah, serta tempat umum lainnya. Coba berapa banyak yang masih mengenakan masker? Coba lihat kondisi tempat pencucian tangan yang disediakan di tempat-tempat itu.
Sekolah sudah “diliburkan” (baca: belajar di rumah), perkantoran yang menjadi klaster tertinggi penularan virus juga sudah diupayakan pengaturan jumlah pekerja dengan menerapkan Work From Home (WFH). Adanya kebijakan Lock Down, PSBB, PKMM, diberlakukan, diperpanjang, diperpanjang lagi, ... Tapi namanya “liburan” sekolah itu tidak digunakan untuk belajar di rumah malah dimanfaatkan untuk jalan-jalan, kumpul-kumpul, bahkan nongkrong-nongkrong di tempat umum tanpa mengindahkan protokol kesehatan. Sudahlah, mau bilang masyarakat kita hebat sehebat apapun, trend kasus Covid-19 tetap meningkat!
Sudah saya bilang, mereka ini risk taker. Mereka sudah tidak takut lagi sama yang namanya Corona. Semua hanya tinggal berita hangat dari media-media pemberitaan yang sudah kehilangan “wah”nya.
Sekarang ini pemerintah juga jadi setengah-setengah dalam mengambil kebijakan. Tentunya karena melihat berbagai aspek. Salah satunya kalau berkaitan dengan masalah ekonomi, semua menjadi kian nggak jelas karena tarik-ulur kebijakan. Yang namanya bencana nasional itu biasanya memang merusak. Bukan hanya ekonomi saja, semua aspek akan terdampak. Tapi kalau bencana berupa kerusakan fisik akibat gempa, banjir, tanah longsor, angin ribut, biasanya infrastruktur juga akan banyak yang rusak. Sudah pasti ekonomi terganggu. Tapi kalau corona ini kita masih bisa “tawar menawar”. Ya jadinya tidak akan mungkin kebijakan pemerintah akan maksimal berdampak pada perbaikan kondisi bencana yang satu ini.
Dalam hal ini pengamat kebijakan publik juga berpendapat bahwa selama ini berbagai kebijakan yang dikeluarkan pemerintah untuk penanganan pandemi tidak ada yang matang. Pemerintah itu gagap mengatasi situasi pandemi. Ini berakibat pada munculnya banyak sekali panic policy.
Vaksinasi yang dilakukan pun sepertinya tidak mendapat sambutan yang terlalu menggembirakan dari masyarakat. Sejak semula sudah mempertanyakan halal/haramnya, efektifitasnya, efikasi dan efek sampingnya, lalu membawa nama Cina sebagai negara pengekspor vaksin yang ternyata dia sendiri tidak menggunakan vaksin itu sendiri, malah mengimpor vaksin dari luar.
Setelah semua terjawab, vaksinasi pun dimulai. Ada yang sudah disuntik vaksin, mulai dari bapak Presiden, lalu Rafi Ahmad sebagai contoh perwakilan kawula muda. Lalu disusul oleh para tenaga kesehatan dan para petugas garda depan. Sedangkan yang lain masih menjadi penonton. Ada banyak drama yang dibikin, tujuannya untuk menggagalkan vaksinasi ini. Ada banyak hoax yang disebarkan tentang reaksi-reaksi menakutkan akibat vaksinasi. Sebagian masih mempertanyakan efikasi vaksin Sinovac yang lebih dahulu terdistribusi dan disuntikkan di awal-awal program.
Sebelumnya, banyak kalangan memperbandingkan hasil uji coba vaksin Sinovac di Brasil saat efikasi mencapai 78 persen, sedangkan di Indonesia hanya 65,3 persen. Namun, kemudian Brasil merevisi nilai efikasi vaksin Corona Sinovac sebesar 50,4 persen usai pekan sebelumnya mengklaim angka 78 persen. Turunnya angka efikasi ini berdasarkan masuknya perhitungan kelompok gejala ringan pada hasil uji vaksin Sinovac. Rentang perbedaan yang sangat jauh memunculkan pertanyaan angka mana yang kini dijadikan acuan? Menurut pakar farmakologi dan farmasi klinis, Prof Dr Zullies Ikawati, Apt, perbedaan angka yang dilaporkan kemungkinan overkalkulasi, tetapi tentu data terbaru yakni efikasi 50,4 persen yang kini jadi acuan di Brasil.
Ya walaupun untuk mendapatkan EUA (emergency use authorization) di WHO, FDA, masing-masing negara 50 persen efikasi itu sudah bisa, 50 persen lebih sedikit pun nggak apa-apa. Tapi kalau diproyeksikan ke depan, 50 persen itu apa nggak mubadzir? Sudah mahal-mahal, sudah berbusa-busa mengedukasi masyarakat untuk mau divaksin, eh, jadinya cuma 50 persen. Itupun belum tahu berapa banyak sasaran yang bersedia menerima dibanding yang menolak vaksinasi. Kalau yang menjadi target coverage saat dicanangkan itu 50 persen juga, artinya angka efikasi tadi hanya menjadi 25 persen dari total coverage. Itupun kalau coverage nggak turun akibat banyak penolakan.
Masih ada harapan. Angka itu kan angkanya Brasil? Indonesia masih 65,3 persen kok. Selain Sinovac masih ada jenis vaksin lain yang beredar. Masih ada harapan bahwa vaksin selain Sinovac itu memiliki efikasi yang lebih tinggi, semoga justru menjanjikan. Memang Sinovac itu isinya virus yang telah mati. Virus mati bisa digunakan sebagai vaksin dengan keamanan yang relatif tinggi. Reaksi yang ditimbulkan juga minimal. Penyimpanannya pun lebih mudah karena diperlukan suhu 2 – 8 derajad Celcius. Sedangkan Vaksin yang berisi virus hidup yang dilemahkan akan lebih tinggi reaksi yang ditimbulkannya. Penyimpanannya memerlukan penanganan lebih khusus lagi. Tetapi virus hidup biasanya efikasinya lebih baik daripada virus mati. Lepas dari segala pesimisme terkait pencegahan Covid-19 ini, saya pribadi berharap dan mendukung penuh vaksinasi ini. Bahkan saya bermimpi semoga vaksinasi di Indonesia bisa berhasil dan menjadi contoh implementasi bagi negara-negara lain.
Bagaimana dengan penanganan penyakit ini? Apakah di Indonesia penanganannya cukup efektif? Saya tidak meragukan lagi kompetensi petugas kesehatan di Indonesia. Standarisasi fasilitas kesehatan dan petugas kesehatan sudah ditegakkan dengan baik sesuai regulasi yang disusun oleh pemerintah. Tetapi apakah kapasitas dari fasilitas kesehatan ini bisa terus bertahan dalam jangka panjang pandemi ini? Hingga 27 Januari 2021, tenaga kesehatan meninggal akibat Covid-19 dilaporkan sudah mencapai 647 orang. Angka ini boleh dikatakan mewakili angka setahun. Kalau diproyeksikan dalam tahun-tahun kedepan, dengan situasi dan kondisi yang masih seperti ini, oooh... saya tidak bisa membayangkan.
Penurunan jumlah tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan tertentu pasti akan berpengaruh pada mutu layanannya. Dalam hal ini kuantitas berpengaruh pada kualitas. Dalam kondisi seperti ini siapa yang bisa menjamin bahwa mutu layanan kesehatan bisa terus dipertahankan? Saya khawatir akan ada titik jenuh, semacam antiklimaks dengan grafik yang merosot menggambarkan kualitas layanan ini. Beberapa fasilitas kesehatan sudah menyatakan kolaps gegara pandemi ini.
Lalu kenapa dan dari mana saya menemukan bahwa tahun 2028 baru selesai pandemi ini? Uraian panjang saya di atas merupakan gambaran kondisi dalam setahun pertama pandemi Covid-19 di negeri tercinta ini. Dari gambaran itu kita bisa membuat proyeksi ke depan. Saya belum bisa menemukan hal-hal tak terduga yang terjadi di tahun 2021. Kalau misalnya ada, saya berharap itu hal yang secara positif memperbaiki segala kondisi ini, bukan malah memperparah. Beberapa hal seperti kecelakaan pesawat dan bencana banjir serta gempa bumi yang terjadi bertubi-tubi di awal tahun adalah contoh hal tak terduga sudah memperparah kondisi ini.
Kita masih bisa berharap dari vaksinasi, walaupun itu harapan yang tipis. Ini tentunya terkait dengan Herd imunity yang akan terbentuk mulai diterapkannya vaksinasi. Dalam beberapa laporan disampaikan bahwa vaksinasi ini baru akan selesai di akhir 2021, artinya Herd imunity belum bisa sempurna di 2021. Dia akan terbentuk sempurna selama tahun 2022. Saat itu tentu masih ada kasus-kasus penderita Covid-19 tetapi jumlahnya sudah banyak berkurang.
Kita belum tahu, sampai kapan proteksi vaksinasi ini bisa bertahan dalam tubuh kita. Harapannya sih selamanya, setidaknya jangka panjang. Tetapi karena penggunaan vaksin ini merupakan penggunaan darurat, yang belum sempat diuji coba dalam hal dampak jangka panjangnya, beberapa laporan menyampaikan bahwa efek proteksi vaksin ini hanya beberapa bulan saja. Artinya, untuk mendapatkan proteksi lebih lama, seseorang harus mengulangi lagi vaksinasi setelah beberapa bulan penyuntikan keduanya.
Belum lagi potensi munculnya varian baru yang lebih virulen (lebih cepat menular, lebih kuat dari kekebalan tubuh, lebih parah dalam menimbulkan gejala) akibat terbiarkannya transmisi virus yang terus berlangsung tanpa kendali.
Kecepatan vaksinasi ini juga pengaruh sekali. Kecepatan ini maksudnya berapa dosis yang bisa diberikan per hari kepada setiap orang yang memenuhi syarat. Amerika mampu memberikan vaksin rata-rata sekitar 3 juta dosis per hari. Dari target awal mereka adalah 2 juta per hari. Sementara di Indonesia, kecepatan rata-rata saat ini "hanya" 200 ribu per hari. Antara dukungan dan keengganan masyarakat untuk menerima vaksin ini masih belum berimbang. Jadi kalau berdasarkan ini saja, kita baru akan bebas dari Covid nanti 7 tahun lagi!
Mau dibahas satu persatu? Ayook!
Trend kasus
Bagaimana nggak ngeri, ketika pada akhir Januari 2021 ini kasus Covid-19 yang dilaporkan https://covid19.go.id/ sudah tembus angka satu juta. Pada saat itu tambahan kasus per hari mengalami tren di atas 10.000 kasus dalam dua pekan terakhir, sementara fasilitas kesehatan "nyaris kolaps" dengan sejumlah orang yang dinyatakan positif Covid-19 mengaku kesulitan mendapat perawatan. Sejak awal 2020 trend kasus yang diprediksi akan melandai di Juli 2020, ternyata tidak ada kecenderungan menurun sama sekali. Bahkan kasus ini terus merangkak naik di Januari 2021. Kasus kematian sudah mencapai 28.855 per 27 Januari 2021. Setiap bulan dilaporkan “pecah rekor” baru dalam jumlah kasus, mau bikin prediksi turun lagi di tahun 2021?
Attack Rate
Attack rate (AR) suatu wilayah didapatkan dengan membagi jumlah kasus dengan jumlah penduduk. AR ini kemudian menjadi parameter yang menunjukkan besarnya risiko penduduk sebuah wilayah untuk tertular virus corona. Semakin besar AR di suatu wilayah, semakin besar pula risiko penduduk yang tinggal di wilayah tersebut untuk tertular atau terdeteksi.
Di Jawa Timur yang memiliki jumlah kasus positif tertinggi di Indonesia di pertengahan 2020, Attack rate (AR)nya pada saat itu untuk kota Surabaya tercatat 187 per 100 ribu penduduk. Sementara di Jakarta pada saat yang sama attack rate nya 115 per 100 ribu penduduk. Sedangkan di Januari 2021, kita mendapati kasus yang sudah tembus 1.024.294 dibanding jumlah penduduk Indonesia 250 juta. Dengan cara perhitungan yang sama, AR diperkirakan sudah mencapai 410 per 100 ribu penduduk.
Awal 2021 ini DKI Jakarta sudah mengambil alih posisi AR tertinggi. Salah satu sumber juga menyebutkan bahwa dari hasil pemeriksaan tes polymerase chain reaction alias PCR dari para warga untuk mendeteksi corona di salah satu RS Swasta di Jakarta, dari jumlah spesimen sebanyak 16.924 yang diperiksa terkonfirmasi sebanyak 14.218 positif Covid-19. Ini sudah ngeri sekali!
Kasus sembuh memang dilaporkan menggembirakan, ya karena penyakit ini self-limiting disesase. Itu tidak menggambarkan keberhasilan yang membanggakan kalau kasus justru terus meningkat seperti ini.
Bagaimana dengan efektivitas pencegahannya?
Prokes atau protokol kesehatan yang digembar-gemborkan sepertinya hanyalah suara angin yang berhembus di dedaunan di pohon-pohon. Orang banyak yang tidak peduli. Kedisiplinan masyarakat Indonesia sejak dulu memang tidak diragukan lagi. Ya, tau lah apa maksudnya. Masyarakat kita cenderung sebagai risk-taker, yaitu para pengambil risiko yang sangat handal. Jadi kalau mau diedukasi sampai memble juga tidak akan mau menggubrisnya. Masuk telinga kiri, keluar dari telinga kiri juga. Mental! Masih mending masuk ke telinga satu sisi lalu keluar lewat sisi sebelahnya.
Coba bikin potret masyarakat di pasar-pasar, di kerumunan pesta-pesta, di tempat-tempat ibadah, serta tempat umum lainnya. Coba berapa banyak yang masih mengenakan masker? Coba lihat kondisi tempat pencucian tangan yang disediakan di tempat-tempat itu.
Sekolah sudah “diliburkan” (baca: belajar di rumah), perkantoran yang menjadi klaster tertinggi penularan virus juga sudah diupayakan pengaturan jumlah pekerja dengan menerapkan Work From Home (WFH). Adanya kebijakan Lock Down, PSBB, PKMM, diberlakukan, diperpanjang, diperpanjang lagi, ... Tapi namanya “liburan” sekolah itu tidak digunakan untuk belajar di rumah malah dimanfaatkan untuk jalan-jalan, kumpul-kumpul, bahkan nongkrong-nongkrong di tempat umum tanpa mengindahkan protokol kesehatan. Sudahlah, mau bilang masyarakat kita hebat sehebat apapun, trend kasus Covid-19 tetap meningkat!
Sudah saya bilang, mereka ini risk taker. Mereka sudah tidak takut lagi sama yang namanya Corona. Semua hanya tinggal berita hangat dari media-media pemberitaan yang sudah kehilangan “wah”nya.
Sekarang ini pemerintah juga jadi setengah-setengah dalam mengambil kebijakan. Tentunya karena melihat berbagai aspek. Salah satunya kalau berkaitan dengan masalah ekonomi, semua menjadi kian nggak jelas karena tarik-ulur kebijakan. Yang namanya bencana nasional itu biasanya memang merusak. Bukan hanya ekonomi saja, semua aspek akan terdampak. Tapi kalau bencana berupa kerusakan fisik akibat gempa, banjir, tanah longsor, angin ribut, biasanya infrastruktur juga akan banyak yang rusak. Sudah pasti ekonomi terganggu. Tapi kalau corona ini kita masih bisa “tawar menawar”. Ya jadinya tidak akan mungkin kebijakan pemerintah akan maksimal berdampak pada perbaikan kondisi bencana yang satu ini.
Dalam hal ini pengamat kebijakan publik juga berpendapat bahwa selama ini berbagai kebijakan yang dikeluarkan pemerintah untuk penanganan pandemi tidak ada yang matang. Pemerintah itu gagap mengatasi situasi pandemi. Ini berakibat pada munculnya banyak sekali panic policy.
Vaksinasi yang dilakukan pun sepertinya tidak mendapat sambutan yang terlalu menggembirakan dari masyarakat. Sejak semula sudah mempertanyakan halal/haramnya, efektifitasnya, efikasi dan efek sampingnya, lalu membawa nama Cina sebagai negara pengekspor vaksin yang ternyata dia sendiri tidak menggunakan vaksin itu sendiri, malah mengimpor vaksin dari luar.
Setelah semua terjawab, vaksinasi pun dimulai. Ada yang sudah disuntik vaksin, mulai dari bapak Presiden, lalu Rafi Ahmad sebagai contoh perwakilan kawula muda. Lalu disusul oleh para tenaga kesehatan dan para petugas garda depan. Sedangkan yang lain masih menjadi penonton. Ada banyak drama yang dibikin, tujuannya untuk menggagalkan vaksinasi ini. Ada banyak hoax yang disebarkan tentang reaksi-reaksi menakutkan akibat vaksinasi. Sebagian masih mempertanyakan efikasi vaksin Sinovac yang lebih dahulu terdistribusi dan disuntikkan di awal-awal program.
Sebelumnya, banyak kalangan memperbandingkan hasil uji coba vaksin Sinovac di Brasil saat efikasi mencapai 78 persen, sedangkan di Indonesia hanya 65,3 persen. Namun, kemudian Brasil merevisi nilai efikasi vaksin Corona Sinovac sebesar 50,4 persen usai pekan sebelumnya mengklaim angka 78 persen. Turunnya angka efikasi ini berdasarkan masuknya perhitungan kelompok gejala ringan pada hasil uji vaksin Sinovac. Rentang perbedaan yang sangat jauh memunculkan pertanyaan angka mana yang kini dijadikan acuan? Menurut pakar farmakologi dan farmasi klinis, Prof Dr Zullies Ikawati, Apt, perbedaan angka yang dilaporkan kemungkinan overkalkulasi, tetapi tentu data terbaru yakni efikasi 50,4 persen yang kini jadi acuan di Brasil.
Ya walaupun untuk mendapatkan EUA (emergency use authorization) di WHO, FDA, masing-masing negara 50 persen efikasi itu sudah bisa, 50 persen lebih sedikit pun nggak apa-apa. Tapi kalau diproyeksikan ke depan, 50 persen itu apa nggak mubadzir? Sudah mahal-mahal, sudah berbusa-busa mengedukasi masyarakat untuk mau divaksin, eh, jadinya cuma 50 persen. Itupun belum tahu berapa banyak sasaran yang bersedia menerima dibanding yang menolak vaksinasi. Kalau yang menjadi target coverage saat dicanangkan itu 50 persen juga, artinya angka efikasi tadi hanya menjadi 25 persen dari total coverage. Itupun kalau coverage nggak turun akibat banyak penolakan.
Masih ada harapan. Angka itu kan angkanya Brasil? Indonesia masih 65,3 persen kok. Selain Sinovac masih ada jenis vaksin lain yang beredar. Masih ada harapan bahwa vaksin selain Sinovac itu memiliki efikasi yang lebih tinggi, semoga justru menjanjikan. Memang Sinovac itu isinya virus yang telah mati. Virus mati bisa digunakan sebagai vaksin dengan keamanan yang relatif tinggi. Reaksi yang ditimbulkan juga minimal. Penyimpanannya pun lebih mudah karena diperlukan suhu 2 – 8 derajad Celcius. Sedangkan Vaksin yang berisi virus hidup yang dilemahkan akan lebih tinggi reaksi yang ditimbulkannya. Penyimpanannya memerlukan penanganan lebih khusus lagi. Tetapi virus hidup biasanya efikasinya lebih baik daripada virus mati. Lepas dari segala pesimisme terkait pencegahan Covid-19 ini, saya pribadi berharap dan mendukung penuh vaksinasi ini. Bahkan saya bermimpi semoga vaksinasi di Indonesia bisa berhasil dan menjadi contoh implementasi bagi negara-negara lain.
Bagaimana dengan penanganan penyakit ini? Apakah di Indonesia penanganannya cukup efektif? Saya tidak meragukan lagi kompetensi petugas kesehatan di Indonesia. Standarisasi fasilitas kesehatan dan petugas kesehatan sudah ditegakkan dengan baik sesuai regulasi yang disusun oleh pemerintah. Tetapi apakah kapasitas dari fasilitas kesehatan ini bisa terus bertahan dalam jangka panjang pandemi ini? Hingga 27 Januari 2021, tenaga kesehatan meninggal akibat Covid-19 dilaporkan sudah mencapai 647 orang. Angka ini boleh dikatakan mewakili angka setahun. Kalau diproyeksikan dalam tahun-tahun kedepan, dengan situasi dan kondisi yang masih seperti ini, oooh... saya tidak bisa membayangkan.
Penurunan jumlah tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan tertentu pasti akan berpengaruh pada mutu layanannya. Dalam hal ini kuantitas berpengaruh pada kualitas. Dalam kondisi seperti ini siapa yang bisa menjamin bahwa mutu layanan kesehatan bisa terus dipertahankan? Saya khawatir akan ada titik jenuh, semacam antiklimaks dengan grafik yang merosot menggambarkan kualitas layanan ini. Beberapa fasilitas kesehatan sudah menyatakan kolaps gegara pandemi ini.
Lalu kenapa dan dari mana saya menemukan bahwa tahun 2028 baru selesai pandemi ini? Uraian panjang saya di atas merupakan gambaran kondisi dalam setahun pertama pandemi Covid-19 di negeri tercinta ini. Dari gambaran itu kita bisa membuat proyeksi ke depan. Saya belum bisa menemukan hal-hal tak terduga yang terjadi di tahun 2021. Kalau misalnya ada, saya berharap itu hal yang secara positif memperbaiki segala kondisi ini, bukan malah memperparah. Beberapa hal seperti kecelakaan pesawat dan bencana banjir serta gempa bumi yang terjadi bertubi-tubi di awal tahun adalah contoh hal tak terduga sudah memperparah kondisi ini.
Kita masih bisa berharap dari vaksinasi, walaupun itu harapan yang tipis. Ini tentunya terkait dengan Herd imunity yang akan terbentuk mulai diterapkannya vaksinasi. Dalam beberapa laporan disampaikan bahwa vaksinasi ini baru akan selesai di akhir 2021, artinya Herd imunity belum bisa sempurna di 2021. Dia akan terbentuk sempurna selama tahun 2022. Saat itu tentu masih ada kasus-kasus penderita Covid-19 tetapi jumlahnya sudah banyak berkurang.
Kita belum tahu, sampai kapan proteksi vaksinasi ini bisa bertahan dalam tubuh kita. Harapannya sih selamanya, setidaknya jangka panjang. Tetapi karena penggunaan vaksin ini merupakan penggunaan darurat, yang belum sempat diuji coba dalam hal dampak jangka panjangnya, beberapa laporan menyampaikan bahwa efek proteksi vaksin ini hanya beberapa bulan saja. Artinya, untuk mendapatkan proteksi lebih lama, seseorang harus mengulangi lagi vaksinasi setelah beberapa bulan penyuntikan keduanya.
Belum lagi potensi munculnya varian baru yang lebih virulen (lebih cepat menular, lebih kuat dari kekebalan tubuh, lebih parah dalam menimbulkan gejala) akibat terbiarkannya transmisi virus yang terus berlangsung tanpa kendali.
Kecepatan vaksinasi ini juga pengaruh sekali. Kecepatan ini maksudnya berapa dosis yang bisa diberikan per hari kepada setiap orang yang memenuhi syarat. Amerika mampu memberikan vaksin rata-rata sekitar 3 juta dosis per hari. Dari target awal mereka adalah 2 juta per hari. Sementara di Indonesia, kecepatan rata-rata saat ini "hanya" 200 ribu per hari. Antara dukungan dan keengganan masyarakat untuk menerima vaksin ini masih belum berimbang. Jadi kalau berdasarkan ini saja, kita baru akan bebas dari Covid nanti 7 tahun lagi!
0 komentar:
Posting Komentar