Lebaran kali ini terasa berbeda sekali. Ada rasa haru dan rindu campur jadi satu. Anak-anak yang datang ke rumah untuk “bersilaturahmi” jumlahnya sedikit sekali. Tidak lebih dari 12 orang anak saja. Biasanya lebih dari itu dan sering datang bergelombang-gelombang. Gelombang pertama bisa 8-15 anak, gelombang kedua 10 anak, masih ada lagi yang mungkin dari kampung sebelah, bahkan gelombang terus berdatangan sampai sore. Tapi kali ini kok sedikit sekali ya?
Tradisi bagi-bagi “angpao”, bagi-bagi “pitrah”, bagi-bagi “zakati”, "THR" atau apalah namanya, memang dari dulu sudah tidak lepas dari tradisi lebaran di Indonesia sampai saat ini. Sejak saya masih kecil dulu juga suka ikut anak-anak kecil lainnya di kampung berbondong-bondong datang untuk “bersilaturahmi”, berhalal bihalal dari rumah ke rumah, mengikuti tradisi orang dewasa yang juga melakukan itu untuk bersilaturahmi dan bermaaf-maafan dalam arti yang sebenarnya.
Sementara bagi anak-anak, maknanya bagi mereka tidak lebih hanyalah untuk mendapatkan “angpao”, “pitrah”, “zakati”, ataupun apa namanya yang jelas lembaran uang yang biasanya berupa pecahan. Ada pula yang datang dari kampung sebelah, bahkan ada yang datang dari kampung yang jauh sekali, Jalan kaki! Begitu semangatnya anak-anak ini memanfaatkan momentum yang hanya terjadi sekali setahun itu.
Ada juga kisah-kisah kenakalan seperti anak yang tadi pagi sudah datang, sorenya datang lagi ikut gelombang yang lain. Namanya anak-anak, ada juga yang sudah belajar untuk “fraud” di saat-saat terjadi momen langka seperti itu.
Tradisi bagi-bagi “angpao”, bagi-bagi “pitrah”, bagi-bagi “zakati”, "THR" atau apalah namanya, memang dari dulu sudah tidak lepas dari tradisi lebaran di Indonesia sampai saat ini. Sejak saya masih kecil dulu juga suka ikut anak-anak kecil lainnya di kampung berbondong-bondong datang untuk “bersilaturahmi”, berhalal bihalal dari rumah ke rumah, mengikuti tradisi orang dewasa yang juga melakukan itu untuk bersilaturahmi dan bermaaf-maafan dalam arti yang sebenarnya.
Sementara bagi anak-anak, maknanya bagi mereka tidak lebih hanyalah untuk mendapatkan “angpao”, “pitrah”, “zakati”, ataupun apa namanya yang jelas lembaran uang yang biasanya berupa pecahan. Ada pula yang datang dari kampung sebelah, bahkan ada yang datang dari kampung yang jauh sekali, Jalan kaki! Begitu semangatnya anak-anak ini memanfaatkan momentum yang hanya terjadi sekali setahun itu.
Ada juga kisah-kisah kenakalan seperti anak yang tadi pagi sudah datang, sorenya datang lagi ikut gelombang yang lain. Namanya anak-anak, ada juga yang sudah belajar untuk “fraud” di saat-saat terjadi momen langka seperti itu.