Suatu saat karena lama tidak nongol di medsos, saya sempat mengintip obrolan di sebuah grup WhatsApp teman-teman sekolah dulu. Saya dapati mereka sedang berencana pergi ke pantai bersama-sama. Ada usulan-usulan ke pantai A, pantai B, pantai C, dan sebagainya. Saya tidak ikut nimbrung. Percuma saja toh saya tidak berada di Jawa. Saya juga belum tentu dalam waktu dekat akan berkumpul bersama mereka.

Kalaupun saya pulang ke Jawa paling akan menjenguk keluarga saya dulu, itupun waktu saya sudah habis. Kerja ikut orang ya harus ikut aturan orang, tidak bebas menentukan kapan bisa pulang. Harus ada perencanaan matang untuk sebuah cuti panjang.

Karena sudah terlanjur kangen dan kondisi belum bisa memungkinan pulang, maka sayapun hanya menelusuri jalan melalui aplikasi Google Map dan menemukan foto di lokasi yang terlebih dulu ditandai. Lumayan, serasa jalan-jalan walau hanya di angan-angan. Hiks.... Segitunya....

Seperti biasa, saya hanya menyimak saja. Dalam hati, saya sudah setiap hari melihat pantai. Saya justru pingin melihat hamparan sawah yang hijau dengan aromanya yang harum khas aroma padi tercium saat angin berhembus sepoi-sepoi. Pantai sudah menjadi makanan sehari-hari saya. Tentu ini akan menjadi sebaliknya bagi mereka. Setiap hari yang dilihatnya hamparan kota yang sudah penuh sesak dengan kemacetan jalan. Panasnya kemarau yang terik tak sempat membuat keringat menetes, langsung menguap. Panas kering udara di tengah daratan Jawa seperti di Solo dan sekitarnya.

Begitulah polanya. Orang daratan merindukan pantai, orang pantai merindukan daratan.