Dalam sebuah kisah antara seekor Mama Babi dengan anak-anaknya, terjadilah sebuah percakapan:
“Ma… mengapa kita ini disebut ‘babi’ oleh para manusia? Mereka tidak menyebut kita si A, si B, si C, dan banyak sekali nama-nama seperti yang dimiliki manusia. Kita ini sama-sama ‘babi’. Kenapa begitu, Ma?”
“Ya memang begitu, Nak! Kita memang hanya punya satu nama ketika hidup. Nanti jika kita mati, kita bisa punya banyak nama. Bisa jadi Babi Guling, Babi Bakar, Sate Babi, Babi Goreng, Babi Kecap Pedas, dan masih banyak lagi nama-nama yang tidak bisa kita sebut satu per satu.” jawab si Mama Babi.
“Ooo… gitu, ya?” si anak manggut-manggut.
“Sedangkan manusia itu walaupun memiliki banyak nama, nanti kalau sudah mati, namanya hanya satu: mayat!”
Kisah ini pernah dituturkan oleh Bapak Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) saat menutup sebuah acara yang kami selenggarakan di kantor beliau. Yang kemudian dibalik kisah itu beliau mengingatkan kepada semua hadirin, yang dalam hal ini adalah para pejabat di lingkungan Provinsi NTT, bahwa menjadi manusia itu berbeda dengan menjadi babi. Manusia menjadi berguna selagi dia hidup. Kalau sudah mati, dia tinggal satu nama, yaitu mayat. Mayat tidak lagi punya arti, dia harus dikubur, tamat riwayatnya.
Sedangkan babi justru akan sangat berguna saat dia telah mati. Sehingga namanya banyak, bisa jadi apa saja.
Kalau ingin menjadi manusia yang berguna, maka manfaatkanlah kemampuan kita selagi masih hidup. Jangan seperti babi. Inilah pesan utamanya.
Tentu saja karena yang bercerita adalah Pak Gubernur NTT di daerah beliau sendiri, urusan halal-haramnya babi tidak menjadi isu yang penting. Kita juga tahu, di daerah-daerah seperti Bali, NTT dan Papua, daging babi memang sudah biasa jadi bahan konsumsi masyarakat. Bahkan di Papua, harga seekor babi bisa lebih berharga dari nyawa manusia! Kalau di daerah Jawa atau Sumatera, mungkin yang jadi binatang dalam cerita ini bisa jadi si Kambing.
Nama-nama binatang memang sering dijadikan peribahasa atau kiasan pembanding untuk menakar nilai-nilai dalam kehidupan manusia. Misalnya seperti peribahasa yang berbunyi, "Gajah yang mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang". Lalu kalau manusia mati maunya meninggalkan apa? Apa sekedar jadi mayat saja?
Tentu tidak. Tapi kenyataannya manusia memiliki tujuan hidup sendiri-sendiri. Sebagian sudah berada di jalur yang teguh dalam mencapai nilai yang tinggi bagi hidupnya tersebut. Nilai yang dianggapnya tinggi itu bisa dalam bentuk harta kekayaan, kedudukan, kemashuran, ilmu pengertahuan, mahakarya, yang kesemuanya dijadikan ukuran bagi harkat dan derajatnya sebagai manusia.
Lihat saja, banyak penghargaan yang diberikan bagi orang-orang dengan pencapaian tertinggi. Majalah-majalah seperti Forbes itu selalu menampilkan daftar orang-orang paling kaya di suatu negara, bahkan yang terkaya di dunia ini.
Demikian juga, kita tentu sering mendengar adanya apresiasi tinggi bagi para CEO terbaik, tokoh paling berpengaruh, artis paling ngetop, foto-foto merekapun terpampang jelas di setiap cover majalah. Kemashuran dan ketenaranpun menjadi ukuran yang tak kalah hebat dalam persaingan ketat tersebut. Dalam dunia ilmu pengetahuan dan mahakarya tentu saja tidak kalah heboh persaingannya.
Tetapi upaya luhur dalam mencapai nilai tersebut tidak selalu dilalui dengan cara-cara yang baik. Karena persaingan sudah sedemikan sengit, justru yang terjadi hanyalah pertikaian yang tiada pernah henti. Kita tentu mendengar adanya “perang dingin” antara tokoh-tokoh negarawan yang dipicu permasalahan jabatan dan takhta negeri ini di masa-masa yang lalu.
Bahkan kadang manusia bisa melakukan hal-hal yang tidak pantas, bahkan tidak manusiawi demi mendapatkan harta, takhta, kemashuran dan sebagainya. Hal-hal tersebut justru bertentangan dengan keagungan dari nilai-nilai yang hendak diraih.
Ada banyak manusia yang peduli dengan hal ini, tetapi banyak pula yang tidak memikirkannya. Ada sementara orang yang percaya bahwa dengan memiliki nilai-nilai itu membuat hidupnya bisa lebih berarti. Sementara orang yang tidak memiliki sesuatu yang bernilai, hidupnya terseok-seok, tertatih, jatuh bangun dalam menapaki liku-liku hidup. Sebagian hanya merasa sebagai pelengkap kehidupan, hanya seperti pemeran pembantu dalam film. Beberapa diantaranya justru hilang terbenam dalam kehidupan ini.
Memang keyakinan seperti itu tidak sepenuhnya benar. Sesuatu yang bernilai tinggi bisa saja justru membuat orang terjerumus jika tidak berhati-hati dalam menggunakannya. Tetapi yang namanya manusia tetaplah manusia. Seolah ditakdirkan untuk berlomba-lomba meraih apa yang dianggapnya bernilai itu. Sebagian besar lebih suka memikirkan bagaimana cara mendapatkan sesuatu yang bernilai itu daripada memikirkan bagaimana menggunakan dengan benar.
Tidak jarang orang akan berusaha mendapatkan sesuatu yang bernilai dengan cara-cara curang, licik, fraud, bahkan jahat. Seolah menghalalkan segala cara mereka sengaja menjatuhkan orang lain guna meraih keinginan-keinginannya. Kadang terpikir jalan pintas untuk meraih sesuatu yang bernilai itu dengan menghancurkan nilai-nilai yang telah dicapai orang lain.
Menurut Jemy V. Confido, dalam tulisannya di www.jemyconfido.com mengidentifikasi ada tujuh jenis peran manusia dalam proses kelahiran dan kehancuran nilai. Peran-peran tersebut adalah:
1. Sang Kreator
Peranan satu ini memberikan sumbangan paling bermakna dalam terciptanya nilai-nilai. Para kreator yang menemukan gagasan akan memiliki impian untuk menciptakannya. Dia juga akan menginspirasi orang dengan hasrat yang tinggi. Dia juga terlibat dalam proses pengerjaan dalam mewujudkan impian itu. Contoh yang digolongkan dalam sang Kreator ini antara lain Thomas Alpha Edison dan Walt Disney.
2. Para Improver
Mereka ini para penangkap gagasan dan semangat tinggi para kreator. Mereka mempelajari kelemahan dari gagasan tersebut dan memperbaikinya sehingga bisa memberikan manfaat lebih baik. Orang-orang yang sering berinovasi, penyusun konsep dan para pemimpin modern merupakan para improver. Contoh dalam golongan improver ini adalah Jack Welch, mantan CEO General Electric (GE). Ia mengambil gagasan dari mana saja untuk kemudian memperbaikinya dan menerapkannya di GE.
3. Sang Mediator
Dalam mewujudkan gagasan sang Kreator dan para Improver, peranan mediator sangat penting. Selain mengkomunikasikan dan menyampaikan gagasan-gagasan tersebut, khususnya kepada pihak-pihak yang tidak terjangkau oleh para kreator dan improver, para mediatorlah yang mencurahkan komitmen untuk mewujudkan gagasan-gagasan tersebut. Pandit Jawaharlal Nehru merupakan contoh mediator yang berkomitmen tinggi.
4. Para Enabler
Peranan para enabler memang tidak terlihat secara langsung. Tetapi tanpa kehadiran para enabler, para kreator belum tentu bisa meraih hasil tertinggi mereka. Kehadiran para enabler juga memberikan kematangan dan kemampuan para kreator untuk bisa menemukan gagasan dan impian mereka. Dengan kesabaran dan kecerdasan yang tinggi, para enabler menemukan cara yang paling tepat untuk membimbing para kreator. Contoh para enabler hebat adalah Anna Sullivan dan Aristoteles.
5. Sang Evaluator
Evaluator tidak terlibat dalam penciptaan nilai. Mereka memberikan kritik dan penilaian terhadap apa yang dihasilkan. Kehadiran para evaluator memberikan keseimbangan bagi para kreator yang tengah melaju dalam gagasan-gagasan mereka. Para juri dan para kritikus memainkan peran sebagai evaluator dalam penciptaan nilai.
6. Para Klaimer
Ini adalah orang-orang yang mengakui nilai secara sesungguhnya dihasilkan atau dimiliki orang lain. Tidak peduli spirit dan perjuangan yang telah dilalui oleh para kreator, para klaimer mengklaim bahwa itu semua milik mereka. Para plagiat dan pihak-pihak yang suka menggugat nilai tanpa dasar yang kuat termasuk dalam kelompok ini.
7. Destruktor
Nah, peranan ketujuh inilah yang suka melakukan penghancuran secara brutal terhadap nilai-nilai yang sudah tercipta dengan baik. Tujuan mereka menghancurkan bukanlah untuk melakukan perbaikan, tetapi semata-mata menutupi ketidakmampuan mereka dalam mencapai nilai yang setara. Bisa juga karena keinginannya untuk menghambat orang lain dalam mencapai nilai-nilai mereka. Para penyusup dan pengkhianat culas merupakan contoh destruktor ini.
Sekarang kita bisa dengan mudah mengenali peranan mereka, para kreator, improver, mediator dan enabler memberikan peran positif dalam penciptaan nilai. Sementara evaluator menjadi penyeimbang. Sedangkan klaimer dan destruktor memainkan peran antagonis terhadap penciptaan nilai.
Sejarah membuktikan bahwa para kreator, improver, mediator dan enabler telah menguah dunia menjadi lebih baik, serta mengubah diri mereka menjadi orang-orang yang dicintai. Sebaliknya para klaimer dan destruktor justru menyusahkan banyak orang dan sering dihujat di setiap tempat dan setiap saat.
Belajar pada sejarah yang terus berulang, serta belajar dari ketujuh peranan tersebut, mari kita rumuskan ulang tentang yang namanya “nilai” ini. Nilai yang dimiliki seseorang bukan diukur dari berapa besar yang dimiliki, tapi dari dua hal berikut: 1) berapa besar perjuangan yang telah dilakukan untuk memperolehnya dan 2) bagaimana dia menggunakan nilai yang telah dimiliki tersebut untuk kemaslahatan sesama.
Semakin berat perjuangan yang diraih untuk pencapaian nilai-nilai itu, serta seberapa ikhlas kita menggunakan nilai-nilai itu, maka semakin tinggi pula derajat, harkat dan martabat kita.
Selagi masih hidup, banyak yang kita perbuat untuk memperbaiki harkat dan martabat melalui nilai-nilai yang kita miliki. Tidak usah menunggu mati, mayat kita tidak lebih berharga dari seekor babi.
Salam seksi dan seksi sekali!
“Ma… mengapa kita ini disebut ‘babi’ oleh para manusia? Mereka tidak menyebut kita si A, si B, si C, dan banyak sekali nama-nama seperti yang dimiliki manusia. Kita ini sama-sama ‘babi’. Kenapa begitu, Ma?”
“Ya memang begitu, Nak! Kita memang hanya punya satu nama ketika hidup. Nanti jika kita mati, kita bisa punya banyak nama. Bisa jadi Babi Guling, Babi Bakar, Sate Babi, Babi Goreng, Babi Kecap Pedas, dan masih banyak lagi nama-nama yang tidak bisa kita sebut satu per satu.” jawab si Mama Babi.
“Ooo… gitu, ya?” si anak manggut-manggut.
“Sedangkan manusia itu walaupun memiliki banyak nama, nanti kalau sudah mati, namanya hanya satu: mayat!”
Kisah ini pernah dituturkan oleh Bapak Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) saat menutup sebuah acara yang kami selenggarakan di kantor beliau. Yang kemudian dibalik kisah itu beliau mengingatkan kepada semua hadirin, yang dalam hal ini adalah para pejabat di lingkungan Provinsi NTT, bahwa menjadi manusia itu berbeda dengan menjadi babi. Manusia menjadi berguna selagi dia hidup. Kalau sudah mati, dia tinggal satu nama, yaitu mayat. Mayat tidak lagi punya arti, dia harus dikubur, tamat riwayatnya.
Sedangkan babi justru akan sangat berguna saat dia telah mati. Sehingga namanya banyak, bisa jadi apa saja.
Kalau ingin menjadi manusia yang berguna, maka manfaatkanlah kemampuan kita selagi masih hidup. Jangan seperti babi. Inilah pesan utamanya.
Tentu saja karena yang bercerita adalah Pak Gubernur NTT di daerah beliau sendiri, urusan halal-haramnya babi tidak menjadi isu yang penting. Kita juga tahu, di daerah-daerah seperti Bali, NTT dan Papua, daging babi memang sudah biasa jadi bahan konsumsi masyarakat. Bahkan di Papua, harga seekor babi bisa lebih berharga dari nyawa manusia! Kalau di daerah Jawa atau Sumatera, mungkin yang jadi binatang dalam cerita ini bisa jadi si Kambing.
Nama-nama binatang memang sering dijadikan peribahasa atau kiasan pembanding untuk menakar nilai-nilai dalam kehidupan manusia. Misalnya seperti peribahasa yang berbunyi, "Gajah yang mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang". Lalu kalau manusia mati maunya meninggalkan apa? Apa sekedar jadi mayat saja?
Tentu tidak. Tapi kenyataannya manusia memiliki tujuan hidup sendiri-sendiri. Sebagian sudah berada di jalur yang teguh dalam mencapai nilai yang tinggi bagi hidupnya tersebut. Nilai yang dianggapnya tinggi itu bisa dalam bentuk harta kekayaan, kedudukan, kemashuran, ilmu pengertahuan, mahakarya, yang kesemuanya dijadikan ukuran bagi harkat dan derajatnya sebagai manusia.
Lihat saja, banyak penghargaan yang diberikan bagi orang-orang dengan pencapaian tertinggi. Majalah-majalah seperti Forbes itu selalu menampilkan daftar orang-orang paling kaya di suatu negara, bahkan yang terkaya di dunia ini.
Demikian juga, kita tentu sering mendengar adanya apresiasi tinggi bagi para CEO terbaik, tokoh paling berpengaruh, artis paling ngetop, foto-foto merekapun terpampang jelas di setiap cover majalah. Kemashuran dan ketenaranpun menjadi ukuran yang tak kalah hebat dalam persaingan ketat tersebut. Dalam dunia ilmu pengetahuan dan mahakarya tentu saja tidak kalah heboh persaingannya.
Tetapi upaya luhur dalam mencapai nilai tersebut tidak selalu dilalui dengan cara-cara yang baik. Karena persaingan sudah sedemikan sengit, justru yang terjadi hanyalah pertikaian yang tiada pernah henti. Kita tentu mendengar adanya “perang dingin” antara tokoh-tokoh negarawan yang dipicu permasalahan jabatan dan takhta negeri ini di masa-masa yang lalu.
Bahkan kadang manusia bisa melakukan hal-hal yang tidak pantas, bahkan tidak manusiawi demi mendapatkan harta, takhta, kemashuran dan sebagainya. Hal-hal tersebut justru bertentangan dengan keagungan dari nilai-nilai yang hendak diraih.
Ada banyak manusia yang peduli dengan hal ini, tetapi banyak pula yang tidak memikirkannya. Ada sementara orang yang percaya bahwa dengan memiliki nilai-nilai itu membuat hidupnya bisa lebih berarti. Sementara orang yang tidak memiliki sesuatu yang bernilai, hidupnya terseok-seok, tertatih, jatuh bangun dalam menapaki liku-liku hidup. Sebagian hanya merasa sebagai pelengkap kehidupan, hanya seperti pemeran pembantu dalam film. Beberapa diantaranya justru hilang terbenam dalam kehidupan ini.
Memang keyakinan seperti itu tidak sepenuhnya benar. Sesuatu yang bernilai tinggi bisa saja justru membuat orang terjerumus jika tidak berhati-hati dalam menggunakannya. Tetapi yang namanya manusia tetaplah manusia. Seolah ditakdirkan untuk berlomba-lomba meraih apa yang dianggapnya bernilai itu. Sebagian besar lebih suka memikirkan bagaimana cara mendapatkan sesuatu yang bernilai itu daripada memikirkan bagaimana menggunakan dengan benar.
Tidak jarang orang akan berusaha mendapatkan sesuatu yang bernilai dengan cara-cara curang, licik, fraud, bahkan jahat. Seolah menghalalkan segala cara mereka sengaja menjatuhkan orang lain guna meraih keinginan-keinginannya. Kadang terpikir jalan pintas untuk meraih sesuatu yang bernilai itu dengan menghancurkan nilai-nilai yang telah dicapai orang lain.
Menurut Jemy V. Confido, dalam tulisannya di www.jemyconfido.com mengidentifikasi ada tujuh jenis peran manusia dalam proses kelahiran dan kehancuran nilai. Peran-peran tersebut adalah:
1. Sang Kreator
Peranan satu ini memberikan sumbangan paling bermakna dalam terciptanya nilai-nilai. Para kreator yang menemukan gagasan akan memiliki impian untuk menciptakannya. Dia juga akan menginspirasi orang dengan hasrat yang tinggi. Dia juga terlibat dalam proses pengerjaan dalam mewujudkan impian itu. Contoh yang digolongkan dalam sang Kreator ini antara lain Thomas Alpha Edison dan Walt Disney.
2. Para Improver
Mereka ini para penangkap gagasan dan semangat tinggi para kreator. Mereka mempelajari kelemahan dari gagasan tersebut dan memperbaikinya sehingga bisa memberikan manfaat lebih baik. Orang-orang yang sering berinovasi, penyusun konsep dan para pemimpin modern merupakan para improver. Contoh dalam golongan improver ini adalah Jack Welch, mantan CEO General Electric (GE). Ia mengambil gagasan dari mana saja untuk kemudian memperbaikinya dan menerapkannya di GE.
3. Sang Mediator
Dalam mewujudkan gagasan sang Kreator dan para Improver, peranan mediator sangat penting. Selain mengkomunikasikan dan menyampaikan gagasan-gagasan tersebut, khususnya kepada pihak-pihak yang tidak terjangkau oleh para kreator dan improver, para mediatorlah yang mencurahkan komitmen untuk mewujudkan gagasan-gagasan tersebut. Pandit Jawaharlal Nehru merupakan contoh mediator yang berkomitmen tinggi.
4. Para Enabler
Peranan para enabler memang tidak terlihat secara langsung. Tetapi tanpa kehadiran para enabler, para kreator belum tentu bisa meraih hasil tertinggi mereka. Kehadiran para enabler juga memberikan kematangan dan kemampuan para kreator untuk bisa menemukan gagasan dan impian mereka. Dengan kesabaran dan kecerdasan yang tinggi, para enabler menemukan cara yang paling tepat untuk membimbing para kreator. Contoh para enabler hebat adalah Anna Sullivan dan Aristoteles.
5. Sang Evaluator
Evaluator tidak terlibat dalam penciptaan nilai. Mereka memberikan kritik dan penilaian terhadap apa yang dihasilkan. Kehadiran para evaluator memberikan keseimbangan bagi para kreator yang tengah melaju dalam gagasan-gagasan mereka. Para juri dan para kritikus memainkan peran sebagai evaluator dalam penciptaan nilai.
6. Para Klaimer
Ini adalah orang-orang yang mengakui nilai secara sesungguhnya dihasilkan atau dimiliki orang lain. Tidak peduli spirit dan perjuangan yang telah dilalui oleh para kreator, para klaimer mengklaim bahwa itu semua milik mereka. Para plagiat dan pihak-pihak yang suka menggugat nilai tanpa dasar yang kuat termasuk dalam kelompok ini.
7. Destruktor
Nah, peranan ketujuh inilah yang suka melakukan penghancuran secara brutal terhadap nilai-nilai yang sudah tercipta dengan baik. Tujuan mereka menghancurkan bukanlah untuk melakukan perbaikan, tetapi semata-mata menutupi ketidakmampuan mereka dalam mencapai nilai yang setara. Bisa juga karena keinginannya untuk menghambat orang lain dalam mencapai nilai-nilai mereka. Para penyusup dan pengkhianat culas merupakan contoh destruktor ini.
Sekarang kita bisa dengan mudah mengenali peranan mereka, para kreator, improver, mediator dan enabler memberikan peran positif dalam penciptaan nilai. Sementara evaluator menjadi penyeimbang. Sedangkan klaimer dan destruktor memainkan peran antagonis terhadap penciptaan nilai.
Sejarah membuktikan bahwa para kreator, improver, mediator dan enabler telah menguah dunia menjadi lebih baik, serta mengubah diri mereka menjadi orang-orang yang dicintai. Sebaliknya para klaimer dan destruktor justru menyusahkan banyak orang dan sering dihujat di setiap tempat dan setiap saat.
Belajar pada sejarah yang terus berulang, serta belajar dari ketujuh peranan tersebut, mari kita rumuskan ulang tentang yang namanya “nilai” ini. Nilai yang dimiliki seseorang bukan diukur dari berapa besar yang dimiliki, tapi dari dua hal berikut: 1) berapa besar perjuangan yang telah dilakukan untuk memperolehnya dan 2) bagaimana dia menggunakan nilai yang telah dimiliki tersebut untuk kemaslahatan sesama.
Semakin berat perjuangan yang diraih untuk pencapaian nilai-nilai itu, serta seberapa ikhlas kita menggunakan nilai-nilai itu, maka semakin tinggi pula derajat, harkat dan martabat kita.
Selagi masih hidup, banyak yang kita perbuat untuk memperbaiki harkat dan martabat melalui nilai-nilai yang kita miliki. Tidak usah menunggu mati, mayat kita tidak lebih berharga dari seekor babi.
Salam seksi dan seksi sekali!
0 komentar:
Posting Komentar