Sang Malam mengajakku mendekam dalam kamar. Kali ini aku ditemani angan-angan saja, karena internet yang biasanya kusetubuhi kini tengah mati. Biasanya listrik juga mati jam segini, tetapi tumben-tumbennya malam ini begitu gemerlap.
Di kampung ini sudah tak ada lagi bola lampu remang-remang dengan cahaya redup bagaikan lilin. Bola lampu temuan Thomas Alfa Edison itu tidak lagi digunakan di era hemat energi seperti sekarang ini. Digantikan dengan lampu-lampu fluoresen dan bahkan lampu yang terbuat dari semikonduktor canggih yang keren dengan namanya LED (Light Emitting Diode).
Tetapi ada yang selalu sama di kampung ini. Selepas isya, tak ada lagi kehidupan di jalan-jalan. Orang lebih suka mengurung diri di rumah, menghadap berhala-berhala mereka yang disebut televisi. Ya, televisi, benda itu memang dari dulu selalu mengurung orang-orang kampung untuk diam di dalam rumah masing-masing. Seperti tersihir oleh apa yang mereka lihat. Kadang saya bertanya, mengapa mereka begitu terhipnotis oleh berhala-berhala itu. Tetapi mungkin mereka juga sebaliknya bertanya, mengapa aku tak menonton televisi dan malah berlama-lama berduaan dengan ponpin? Kadang senyum-senyum sendiri di depan layar sempit itu, seperti orang gila kehilangan makna. Sama-sama pemilik berhala, hanya saja berbeda bentuk lantaran beda selera saja.
Kali ini mereka seperti nyukur-nyukurin aku yang tersesat sendirian di alam nyata kehilangan dunia maya. Sementara mereka asyik masyuk dengan dunia maya yang lain, berpesta pora dengan tontonan penuh hura-hura dan canda tawa. Aku merasa terasing. Sendiri di dalam kamar, memeluk sang Malam dan membiarkan semua angan-anganku beterbangan ke manapun mereka mau menuju.
Biasanya aku juga sering keluar rumah menikmati langit malam. Menghitung gugusan bintang sambil sesekali berbisik kepada galaksi Bima Sakti tentang cita-cita dan masa depan. Tapi terangnya lampu-lampu merkuri di kampung ini membuat atmosfer malam semakin berpendar, sehingga tak sedikitpun bintang yang terlihat terang dari bawah sini, apalagi galaksi Bima Sakti. Kalah oleh pendaran lampu kepada debu-debu yang mengendap dari hiruk-pikuknya mesin-mesin kendaraan di siang harinya.
Mungkin saat ini aku sudah sedemikian terlambat untuk merindukan kampungku sendiri, dimana surga kecil itu pernah kutinggalkan dahulu. Di tempat nongkrong milik penjual makanan gorengan, aku biasa memesan minuman. Kadang teh, kadang kopi, mungkin juga susu atau jahe panas. Lalu memilih cemilan yang aku suka. Biasanya bakwan goreng yang dihangatkan dengan cara membakarnya di atas bara api. Sambil ngobrol ke sana ke mari bersama handai dan taulan, atau kadang hanya sebagai pendengar saja dikala mulut malas bicara. Yang penting malam tidak terasa dingin dan sepi, melainkan sedikit berwarna. Sedikit saja.
Begitulah kisah seorang laki-laki yang tersesat di kesunyian, memeluk sang Malam, berangan-angan, ketika internet mati.
Di kampung ini sudah tak ada lagi bola lampu remang-remang dengan cahaya redup bagaikan lilin. Bola lampu temuan Thomas Alfa Edison itu tidak lagi digunakan di era hemat energi seperti sekarang ini. Digantikan dengan lampu-lampu fluoresen dan bahkan lampu yang terbuat dari semikonduktor canggih yang keren dengan namanya LED (Light Emitting Diode).
Tetapi ada yang selalu sama di kampung ini. Selepas isya, tak ada lagi kehidupan di jalan-jalan. Orang lebih suka mengurung diri di rumah, menghadap berhala-berhala mereka yang disebut televisi. Ya, televisi, benda itu memang dari dulu selalu mengurung orang-orang kampung untuk diam di dalam rumah masing-masing. Seperti tersihir oleh apa yang mereka lihat. Kadang saya bertanya, mengapa mereka begitu terhipnotis oleh berhala-berhala itu. Tetapi mungkin mereka juga sebaliknya bertanya, mengapa aku tak menonton televisi dan malah berlama-lama berduaan dengan ponpin? Kadang senyum-senyum sendiri di depan layar sempit itu, seperti orang gila kehilangan makna. Sama-sama pemilik berhala, hanya saja berbeda bentuk lantaran beda selera saja.
Kali ini mereka seperti nyukur-nyukurin aku yang tersesat sendirian di alam nyata kehilangan dunia maya. Sementara mereka asyik masyuk dengan dunia maya yang lain, berpesta pora dengan tontonan penuh hura-hura dan canda tawa. Aku merasa terasing. Sendiri di dalam kamar, memeluk sang Malam dan membiarkan semua angan-anganku beterbangan ke manapun mereka mau menuju.
Biasanya aku juga sering keluar rumah menikmati langit malam. Menghitung gugusan bintang sambil sesekali berbisik kepada galaksi Bima Sakti tentang cita-cita dan masa depan. Tapi terangnya lampu-lampu merkuri di kampung ini membuat atmosfer malam semakin berpendar, sehingga tak sedikitpun bintang yang terlihat terang dari bawah sini, apalagi galaksi Bima Sakti. Kalah oleh pendaran lampu kepada debu-debu yang mengendap dari hiruk-pikuknya mesin-mesin kendaraan di siang harinya.
Mungkin saat ini aku sudah sedemikian terlambat untuk merindukan kampungku sendiri, dimana surga kecil itu pernah kutinggalkan dahulu. Di tempat nongkrong milik penjual makanan gorengan, aku biasa memesan minuman. Kadang teh, kadang kopi, mungkin juga susu atau jahe panas. Lalu memilih cemilan yang aku suka. Biasanya bakwan goreng yang dihangatkan dengan cara membakarnya di atas bara api. Sambil ngobrol ke sana ke mari bersama handai dan taulan, atau kadang hanya sebagai pendengar saja dikala mulut malas bicara. Yang penting malam tidak terasa dingin dan sepi, melainkan sedikit berwarna. Sedikit saja.
Begitulah kisah seorang laki-laki yang tersesat di kesunyian, memeluk sang Malam, berangan-angan, ketika internet mati.
0 komentar:
Posting Komentar