Bulan ke-7 dan bulan ke-10 tahun ini merupakan bulan paling muram bagi masyarakat Jayapura dan sekitarnya dalam hal koneksi Internet. Pada bulan Juli 2016 sempat terjadi putus koneksi sampai sekitar seminggu, baik internet seluler maupun yang melalui saluran telepon. Kemudian pada tanggal 17 Oktober 2016 hal itu terulang lagi sampai dengan 11 November 2016. Hampir sebulan warga Jayapura mengalami kesunyian maya. Bahkan rencananya perbaikan kabel bawah laut itu direncanakan sebulan penuh, sehingga baru bisa nyambung lagi tanggal 18 November 2016. Kalaupun ada koneksi dikit-dikit itu cuma back-up koneksi via satelit yang tidak begitu membantu.
Dengan kondisi seperti itu seluruh pesan WhatsApp (WA) baru masuk pada pukul 02.00 WIT. Ucapan “Selamat pagi!” di hampir semua grup WA sampai dengan “Selamat malam, selamat istirahat semuanya!” masuk secara serentak berurutan pada pukul 02.00 dini hari itu. Itupun hanya sebentar, karena pukul 03.00 ke atas aplikasi chatting itu “sudah tidak bisa dipakai lagi”.
Yang masih bisa menolong adalah aplikasi bernama Telegram. Entah mengapa hanya Telegram saja yang masih tang, ting, tung, sepanjang hari sepanjang malam. Hal ini karena seluruh aktivitas komunikasi kantor menggunakan Telegram. Sedangkan WA, BBM, Facebook, Instagram dan kawan-kawan sama sekali tidak berkutik. Apalagi yang namanya browser itu sama sekali mampet... pet... pet... pet...!
“Hadeh. ... memble amat sih gue...?” gerutuku dalam hati sepanjang bulan-bulan itu. Untungnya masih ada beberapa kali perjalanan dinas keluar dari kota Jayapura yang kelam tanpa sinyal Internet ini. Padahal daerah sekitarnya seperti Biak, Manokwari, Sorong dikabarkan lancar-lancar saja koneksinya. Hanya Jayapura semata yang bener-bener “gelap gulita”. Jaman sekarang ketika kebutuhan Internet menjadi semakin besar dan perangkat mobile menjadi “separuh nafas” manusia, hal seperti ini terasa bagai bencana.
Sekian lama gak dapet koneksi yang memadai untuk setiap waktu senggang di rumah, saya hanya muter musik via pesawat (gadget) maupun DVD player yang terkoneksi dengan equalyzer, speaker aktif dan lengkap dengan super woofernya. Dengan demikian setiap hentakan dan gelegar suara instrumen musik yang dimainkan senantiasa menggetarkan atap rumah yang terbuat dari seng. Bahkan sampai ke atap rumah tetangga.
Kalau dulu sering kecewa dengan seringnya “mati lampu” (listrik padam), sekarang saya antisipasi dengan menggunakan Uninterruptible Power Supply (UPS) kecil. Sehingga ketika listrik padam, lagu masih mengalun, musik masih menggelegar, setidaknya sampai satu lagu usai dimainkan, baru dimatikan. Jadi tidak mendadak mati dan sepi sehingga tetangga yang merasa terganggupun akan bersyukur, “Rasain! Mati lampu! Muter musik nggak kira-kira…!”
Dengan kondisi seperti itu seluruh pesan WhatsApp (WA) baru masuk pada pukul 02.00 WIT. Ucapan “Selamat pagi!” di hampir semua grup WA sampai dengan “Selamat malam, selamat istirahat semuanya!” masuk secara serentak berurutan pada pukul 02.00 dini hari itu. Itupun hanya sebentar, karena pukul 03.00 ke atas aplikasi chatting itu “sudah tidak bisa dipakai lagi”.
Yang masih bisa menolong adalah aplikasi bernama Telegram. Entah mengapa hanya Telegram saja yang masih tang, ting, tung, sepanjang hari sepanjang malam. Hal ini karena seluruh aktivitas komunikasi kantor menggunakan Telegram. Sedangkan WA, BBM, Facebook, Instagram dan kawan-kawan sama sekali tidak berkutik. Apalagi yang namanya browser itu sama sekali mampet... pet... pet... pet...!
“Hadeh. ... memble amat sih gue...?” gerutuku dalam hati sepanjang bulan-bulan itu. Untungnya masih ada beberapa kali perjalanan dinas keluar dari kota Jayapura yang kelam tanpa sinyal Internet ini. Padahal daerah sekitarnya seperti Biak, Manokwari, Sorong dikabarkan lancar-lancar saja koneksinya. Hanya Jayapura semata yang bener-bener “gelap gulita”. Jaman sekarang ketika kebutuhan Internet menjadi semakin besar dan perangkat mobile menjadi “separuh nafas” manusia, hal seperti ini terasa bagai bencana.
Sekian lama gak dapet koneksi yang memadai untuk setiap waktu senggang di rumah, saya hanya muter musik via pesawat (gadget) maupun DVD player yang terkoneksi dengan equalyzer, speaker aktif dan lengkap dengan super woofernya. Dengan demikian setiap hentakan dan gelegar suara instrumen musik yang dimainkan senantiasa menggetarkan atap rumah yang terbuat dari seng. Bahkan sampai ke atap rumah tetangga.
Kalau dulu sering kecewa dengan seringnya “mati lampu” (listrik padam), sekarang saya antisipasi dengan menggunakan Uninterruptible Power Supply (UPS) kecil. Sehingga ketika listrik padam, lagu masih mengalun, musik masih menggelegar, setidaknya sampai satu lagu usai dimainkan, baru dimatikan. Jadi tidak mendadak mati dan sepi sehingga tetangga yang merasa terganggupun akan bersyukur, “Rasain! Mati lampu! Muter musik nggak kira-kira…!”
0 komentar:
Posting Komentar