Ini ngomong apa sih? Sedang belajar bahasa Inggris apa gimana? Coba deh, baca sekali lagi terus coba artikan. Ooh… setelah dibaca beberapa kali barulah ngeh maksudnya. Yaitu ungkapan basa Jawa yang bunyinya “ Ngono yo ngono, ning aja ngono”. Indonesianya: Begitu ya begitu, tapi jangan begitu. Maksudnya: boleh seperti itu, tapi kalau bisa jangan melakukannya. Bingung kan? Nah, coba kita uraikan lagi deh. Bahasa Inggrisnya tentu tidak seperti itu. Tapi untuk memahaminya kita simak dengan teliti deh. Yuk…?
Dalam hidup ini kita punya hak-hak tertentu yang memang boleh kita nikmati. Orang lain juga punya hak. Kadang dalam menggunakan hak kita, kita sering berbenturan dengan hak orang lain. Maka dalam hal ini kita seyogyanya mengalah. Dalam arti, kita gunakan hak kita sebatas tidak mengganggu hak orang lain. Tahu sama tahu, lah. Tepa selira, toleransi, berempati kepada sesama, tidak egosentris, itu semua ada kaitannya dengan hal ini.
Kalaupun terpaksa harus menggunakan hak kita, supaya tidak menimbulkan masalah bagi yang haknya terganggu, tentu saja ada cara-cara musyawarah diantara pihak-pihak yang terlibat. Sama-sama sepakat untuk menemukan win-win solution sebagai hasil musyawarah, ciri khas dari budaya luhur kita yang berlandaskan Pancasila. Ngeeek…!
Sudah jelas kan? Kita boleh begitu (menggunakan hak), tapi ya jangan begitu juga (memaksakan kehendak atas nama hak yang jelas mengganggu hak orang lain). Kecuali dibicarakan terlebih dahulu. Itu makna sebenarnya.
Sebagai contoh kalau kita punya pesawat pemutar musik (player) yang suaranya bisa menggelegar ke seluruh kompleks. Kita memang berhak memutar musik kuat-kuat, tak disangkal memutar musik itu kadang kalau tidak keras suaranya kurang bisa dinikmati. Tetapi manakala tetangga kita rumahnya berdempetan (saling melekat), pasti penghuninya akan terganggu oleh musik kita. Kalau kebetulan mereka bisa menikmati jenis musik kita sih tidak apa-apa. Kalau ternyata ada yang tidak suka musik, terlebih ada yang sedang sakit, atau ada anak bayi dalam rumah itu, maka kita juga harus tahu diri dan memutar musik dengan volume yang sewajarnya saja. Boleh muter musik, tapi gak boleh keras-keras.
Sebenarnya yang tadi itu contoh yang agak ekstrim. Ada hal-hal sepele yang perlu mempertimbangkan keberadaan orang lain saat kita menggunakan hak kita. Terutama kalau kita itu memiliki sesuatu yang tidak dimiliki oleh orang lain di sekitar kita. Agar tidak terkesan pamer, sombong, berlebih-lebihan, kita perlu menjaga perasaan mereka dari rasa iri dan dengki. Sehingga kita sebaiknya sedikit menahan diri.
Tetapi di jaman sekarang ini sepertinya nilai-nilai semacam itu sudah mulai ditinggalkan. Banyak yang tidak peduli tetangganya mengalami kesusahan, banyak yang tidak tahu sebelah rumahnya ada yang sedang sakit, banyak yang cuek bebek saat melintas di depan rumah tetangga sendiri. Apalagi jamannya sekarang jaman digital, era sosial media, keduanya mendukung sekali untuk terbentuknya budaya baru, yaitu budaya narsis. Narsis pada awalnya memang masih dilakukan dengan malu-malu, sambil berkelakar, lama-lama jadi perbuatan terang-terangan dan sudah dianggap wajar dan bisa dimaklumi. Pergeseran nilai itu sangat terasa sekali. Tak ada lagi terdengar “ Ngono yo ngono, ning aja ngono”, yang ada malah: urusanmu bukan urusanku, urusanku juga bukan urusanku. Kita urus urusan kita sendiri-sendiri. Dengan demikian nilai-nilai luhur termasuk gotong royong juga sudah ikut hilang.
Apakah memang sudah sepantasnya hilang? Kita sering menyayangkan kalau nilai-nilai luhur itu hilang, padahal kita sendiri tidak mampu mempertahankannya. Lebih tepatnya kita tidak mewariskan budaya luhur itu ke anak dan cucu kita. Salahnya siapa? Jangan salahkan mereka kalau nanti suatu saat mereka mengernyitkan dahi saat mendengar istilah “gotong royong”. Dengan tanpa dosa mereka bertanya, “Apaan tuh? Kok kedengerannya serem gitu? Makhluk halus atau artefak dari jaman prasejarah?” Gubrak!!!
0 komentar:
Posting Komentar