Setengah malam telah bersemayam. Menyanyikan lagu begitu indah. Walau tidak tau sejauh mana angan-angan telah mengembara. Kemelut sudah sedemikian kejam membakar cinta yang beku. Rindupun menggunung bagai sampah yang tertimbun dan mengotori hati dengan prasangka negatif akan harapan-harapan palsu. Bahkan janjipun melahirkan keraguan, akankan cinta sudah sedemikian pantas untuk ditinggalkan.
Tidak tahu seberapa dalamnya hati. Tapi tidak juga bisa dijelaskan, karena ketidakberdayaan selalu membelenggu. Terkesan rapuh, lemah, tak berguna. Tidak pernah berhenti keyakinan disiramkan bagai hujan, membanjiri setiap media dengan kata-kata. Yang namanya keterbatasan walaupun bisa dimaklumi namun begitu sering malahan menjadi makan hati. Tinggal sejauh mana kita akan memaknai cinta, walaupun seringkali kita mendapati segalanya berada di atas penyesalan masa silam.
Maka sang Jiwa kembali terbang melesat membumbung tinggi, menuju lapis langit tiga ratus sekian. Disitulah sang Jiwa kembali berharap bertemu sang Sandaran Hati. Tidak tahu lagi dimana bidadari itu kini berada, karena dia selalu mengepakkan sayapnya ke sana, ke mari, demi sebuah pengharapan yang bisa mencukupi diri akan semua kebutuhan kesehariannya. Hanya satu tempat yang pasti dia kunjungi, tempat yang selalu meneduhkan hati dikala segala beban terasa sedemikian berat untuk terus dijinjing.
Alarm berdering, tandanya sang Bidadari telah mendekat. Sang Jiwa bersiap menangkapnya. Dari jauh terlihat laju sang Bidadari Sandaran Hati itu melayang dengan sayap-sayapnya yang merah menyala. Matanya tertuju kepada sang Jiwa dan dia tau kalau dia mau ditangkap. Alih-alih mau menghindar, sang Sandaran Hati itu malah sengaja menabrakkan diri kepada sang Jiwa. Maka mulailah, pelukan, ciuman, dan sebagian kerinduanpun mulai dituangkan hingga mereka sama-sama terbang membumbung menuju ketinggian hingga lapis langit ke lima ratus sekian.
Selalu ada sehampar awan putih yang menunggu percintaan mereka. Mengabadikan momen dimana kerinduan yang beku itu dicairkan dalam potret-potret cinta yang manja.
Tidak tahu seberapa dalamnya hati. Tapi tidak juga bisa dijelaskan, karena ketidakberdayaan selalu membelenggu. Terkesan rapuh, lemah, tak berguna. Tidak pernah berhenti keyakinan disiramkan bagai hujan, membanjiri setiap media dengan kata-kata. Yang namanya keterbatasan walaupun bisa dimaklumi namun begitu sering malahan menjadi makan hati. Tinggal sejauh mana kita akan memaknai cinta, walaupun seringkali kita mendapati segalanya berada di atas penyesalan masa silam.
Maka sang Jiwa kembali terbang melesat membumbung tinggi, menuju lapis langit tiga ratus sekian. Disitulah sang Jiwa kembali berharap bertemu sang Sandaran Hati. Tidak tahu lagi dimana bidadari itu kini berada, karena dia selalu mengepakkan sayapnya ke sana, ke mari, demi sebuah pengharapan yang bisa mencukupi diri akan semua kebutuhan kesehariannya. Hanya satu tempat yang pasti dia kunjungi, tempat yang selalu meneduhkan hati dikala segala beban terasa sedemikian berat untuk terus dijinjing.
Alarm berdering, tandanya sang Bidadari telah mendekat. Sang Jiwa bersiap menangkapnya. Dari jauh terlihat laju sang Bidadari Sandaran Hati itu melayang dengan sayap-sayapnya yang merah menyala. Matanya tertuju kepada sang Jiwa dan dia tau kalau dia mau ditangkap. Alih-alih mau menghindar, sang Sandaran Hati itu malah sengaja menabrakkan diri kepada sang Jiwa. Maka mulailah, pelukan, ciuman, dan sebagian kerinduanpun mulai dituangkan hingga mereka sama-sama terbang membumbung menuju ketinggian hingga lapis langit ke lima ratus sekian.
Selalu ada sehampar awan putih yang menunggu percintaan mereka. Mengabadikan momen dimana kerinduan yang beku itu dicairkan dalam potret-potret cinta yang manja.
0 komentar:
Posting Komentar