Aminah, mungkin begitulah nama aslinya. Dia sering dipanggil Minah saja atau sebagian orang memanggilnya Mimin. Perempuan muda berhati emas itu selalu menyusuri jalan hampir di setiap pagi menuju pasar. Langkahnya anggun, selalu mengenakan baju rapi dengan bawahan warna-warni yang menutupi hingga ke bawah lututnya. Sesekali tertiup angin, roknya itu selalu berkibar-kibar memperlihatkan betisnya yang indah bagai pualam. Mengingatkan semua orang pada betis Ken Dedes yang memikat hati Ken Arok. Siapa yang tidak tahu kisah betis yang melegenda dari negeri Singasari itu?
Wajahnya yang sejuk, menentramkan hati setiap orang yang memandangnya. Apalagi senyumnya yang selalu membuat hati tergoda. Sekali tersenyum, barangkali berjuta bintang langsung berguguran di pangkuannya. Penampilannya sederhana. Tak nampak seperti perempuan kebanyakan yang gemar merias wajah berlebihan. Rambutnya diikat di belakang kepala, ujungnya terurai dan melambai-lambai di belakang punggungnya. Menambah keanggunan perempuan itu.
Seperti biasanya, pagi itu dia pergi ke pasar berjalan kaki. Walaupun mungkin dia bisa naik ojek atau membawa motor sendiri, tapi jalan kaki dia rasa lebih menyehatkan. Ia juga tidak pernah khawatir bahwa matahari akan membakar kulitnya yang kuning bagai langsat. Sinar matahari pagi bisa menjaga kesehatan kulit dan tulang belulangnya. Barang belanjaannya ditenteng di tangan. Tidak banyak, hanya kebutuhan sehari-hari yang selalu habis dikonsumsi. Dia tahu, makanan yang selalu baru bisa lebih menyehatkan.
Dia memasak sendiri makanan di rumah. Dengan begitu dia tahu benar bagaimana harus meminimalisir penggunaan zat-zat tambahan yang membahayakan tubuh. Penyedap rasa dan pengawet makanan biasanya paling dihindari. Bahkan gula dan garampun dia takar benar, biar tidak terlalu banyak, namun tetap terasa kelezatannya. Sebagai gantinya,dia sering menggunakan penyedap alami seperti udang kering dan terasi. Entah bagaimana cara memasaknya, yang jelas seisi rumah sangat menikmatinya, tanpa harus membeli makanan tambahan di luar.
Walaupun wajahnya cantik dan cenderung banyak penggemar, tapi hatinya setia. Dia tidak pernah tergoda oleh harta benda yang sering diiming-imingkan banyak pria. Hidupnya sederhana, bersahaja, dia selalu tersenyum bahagia dan menerima dengan apa adanya dirinya. Selama ini hatinya hanya ia berikan untuk seorang lelaki yang sangat dikasihi dan mengasihinya, yaitu Hermawan.
Hermawan dikenal banyak orang sebagai lelaki pendiam. Dia orang rumahan yang tidak suka aneh-aneh dalam pergaulannya. Pekerjaannya sehari-hari hanyalah menulis cerpen dan sesekali membuat novel. Walaupun terkesan tertutup dan jarang keluar rumah, tapi pikiran dan wawasannya luas. Banyak ide cerita yang dituliskannya telah menginspirasi orang-orang. Ide-ide cemerlangnya, juga nasihat-nasihatnya dalam hidup ini banyak tersisip di dalam setiap dongeng yang dia tuliskan. Dia tidak melulu berkisah tentang cinta dan romantika saja, tetapi juga permasalahan serta konflik yang terkait hal-hal yang berbau politik, masalah sosial, bahkan keagamaan.
Tak jarang orang terkesan dengan pesan yang dibawa oleh setiap kisah yang dituliskannya, hampir setiap kisah seolah memiliki nasihat yang membuat ceritanya dianggap berbobot. Motivasi dalam hidup sering tertuang dalam setiap bab yang mengisi buku ceritanya. Memang sebagian besar masalah cinta, tapi tak jarang dia bisa memberikan motivasi dalam hal karir, kepemimpinan, hubungan interpersonal, bahkan pernah menginspirasi seorang pelajar untuk melanjutkan pendidikan tinggi di luar negeri.
Novelnya yang bertema cerita cinta berjudul "Pagutan Pagi Sepasang Merpati" sempat menjadi populer dan laku keras di pasaran. Banyak permintaan dari para pembaca untuk membuat kisah lanjutan dari cerita itu. Untuk itulah sekarang dia akrab berteman dengan laptop menggarap kelanjutan kisah cinta yang tiba-tiba melegenda itu. Dia pusatkan perhatian di setiap waktunya untuk menggarap novel barunya. Dia sangat tidak ingin mengecewakan para penggemar novelnya.
Tidak peduli pagi, siang, sore, bahkan tengah malam jika terjaga, dia akan selalu menyalakan laptopnya dan terus mengetik, mencurahkan seluruh perhatiannya untuk menuang segala isi kepala ke layar kaca di hadapannya. Kalau sudah begitu, ia tidak mau diganggu. Hanya secangkir kopi kadang sudah cukup untuk menemaninya mengetik dari tengah malam dia terjaga sampai pagi menjelang.
Dulu dia sering ditemani juga sama rokok. Tapi sekarang, sejak dia pulang dari rumah sakit karena infeksi saluran pernafasan, dia tidak pernah lagi merokok. Sesekali dia mencoba untuk nekad merokok lagi, tapi setiap kali kedapatan, Minah selalu mencabutnya dari mulut pria itu dan segera mematikannya. Sebagai gantinya, dikecupnya bibir pria itu dengan bibirnya yang lembut. Kalau sudah begitu, Hermawan tak lagi kuasa untuk berkata apa-apa, sekalipun untuk mengucapkan protes karena rokoknya dimatikan oleh Minah.
Mereka adalah pasangan serasi. Sama-sama sebagai pribadi yang selalu mengispirasi banyak orang. Bukan dengan kemewahannya, namun justru karena kesederhanaannya. Kesederhanaan yang bukan berarti tanpa pengetahuan dan wawasan. Justru karena kepandaiannya itu, mereka memilih gaya hidup yang sedemikian rupa. Selaras dengan alam yang melimpahkan cinta dan kecukupan.
Seperti pagi itu, ketika Minah sudah selesai dengan aktivitas memasaknya. Seperti biasa dia menghampiri Hermawan yang sedang sibuk dengan angan-angan. Pria itu hanya duduk di jendela lantai dua yang terbuka, menghirup udara pagi sambil mencari-cari inspirasi dengan mengamati hiruk-pikuk pagi di depan rumahnya.
"Sarapan sudah siap, Mas! Apa perlu Mimin bawakan kesini?" sapanya ramah.
Yang diajak bicara hanya menjawab dengan senyum. "Nanti saja, aku ingin sarapan sesuatu yang agak berbeda." jawabnya kemudian.
Minah membalasnya dengan senyum, sampai kedua tangannya ditarik oleh Hermawan menuju jendela. Seperti mau menunjukkan sesuatu di luar sana. Dilihatnya pagi itu masih hiruk pikuk orang-orang kampung yang hilir mudik di jalan depan rumah. Setelah sadar bahwa dia tidak menemukan sesuatu yang istimewa di luar sana, diapun menoleh ke Hermawan bertanya, "Ada apa, Mas?"
Dia baru sadar kalau lelaki itu memperhatikannya dari tadi, lalu menariknya mendekat. Keduanyapun berciuman, bibirnya melumat satu sama lain. Saling memagut, tak ubahnya dengan Pagutan Pagi Sepasang Merpati dalam kisah yang pernah dituturkan Hermawan di novelnya. Dari balik jendela itu mereka terus berciuman dan berpelukan. Merekapun akhirnya melanjutkan kemesraan seperti bisanya di ranjang.
Hermawan tidak hanya pandai bercinta dalam kisah-kisah yang dia tulis. Dalam prakteknya, dia dan Minah telah banyak menghabiskan waktu buat bermesraan dengan segala gaya dan posisi. Tak hanya di ranjang, dia juga sering melakukannya di kamar mandi, di dapur, di ruang tamu, di garasi, bahkan juga pernah di taman belakang rumah.
Seperti kemesraan sebelumnya, pagi itu mereka menghabiskan waktu berdua di ranjang kamar lantai dua, kamar dimana Hermawan menyibukkan sepanjang malamnya untuk mengetik. Hembusan angin dari jendela menambah sensasi percintaan mereka di sana. Rintihan dan desahan silih berganti mewarnai pagi itu. Cukup lama, hingga merekapun sampailah ke puncak asmara yang tak kalah indahnya dibanding kemesraan-kemesraan sebelumnya. Tiba-tiba terdengar bunyi klakson yang membahana di dalam garasi rumah mereka. Suara klakson yang sudah sangat tidak asing itupun menghentikan aktivitas mereka.
Bergegas berdua mengenakan kembali pakaian masing-masing yang berhamburan di dalam kamar. Hermawan kembali membuka laptop dan memulai kisah indah dalam lembaran bab baru novel barunya. Minah menuruni tangga dan bergegas membuka pintu yang menghubungkan garasi dengan kamar tengah.
"Selamat pagi, Mbak? Wah, banyak sekali oleh-olehnya, nih?" sapa Minah ramah kepada Riana sambil meraih tas besar yang barusan diturunkan dari dalam bagasi mobil.
"Mana mas Hermawan?" tanya Riana kepada Minah sambil melangkah ke dalam rumah tanpa basa-basi.
"Biasa, di kamarnya lagi sibuk mengetik." jawab Minah sambil mencoba mengangkat tas besar yang sarat muatan itu.
Rianapun langsung bergegas ke kamar lantai dua menemui suaminya. Sudah tiga hari dia pergi ke luar kota untuk urusan bisnis.
"Pagi, Mas? Ini nih, aku bawain oleh-oleh kesukaanmu. " kata Riana kepada Hermawan yang sedang sibuk mengetik.
Wajahnya yang sejuk, menentramkan hati setiap orang yang memandangnya. Apalagi senyumnya yang selalu membuat hati tergoda. Sekali tersenyum, barangkali berjuta bintang langsung berguguran di pangkuannya. Penampilannya sederhana. Tak nampak seperti perempuan kebanyakan yang gemar merias wajah berlebihan. Rambutnya diikat di belakang kepala, ujungnya terurai dan melambai-lambai di belakang punggungnya. Menambah keanggunan perempuan itu.
Seperti biasanya, pagi itu dia pergi ke pasar berjalan kaki. Walaupun mungkin dia bisa naik ojek atau membawa motor sendiri, tapi jalan kaki dia rasa lebih menyehatkan. Ia juga tidak pernah khawatir bahwa matahari akan membakar kulitnya yang kuning bagai langsat. Sinar matahari pagi bisa menjaga kesehatan kulit dan tulang belulangnya. Barang belanjaannya ditenteng di tangan. Tidak banyak, hanya kebutuhan sehari-hari yang selalu habis dikonsumsi. Dia tahu, makanan yang selalu baru bisa lebih menyehatkan.
Dia memasak sendiri makanan di rumah. Dengan begitu dia tahu benar bagaimana harus meminimalisir penggunaan zat-zat tambahan yang membahayakan tubuh. Penyedap rasa dan pengawet makanan biasanya paling dihindari. Bahkan gula dan garampun dia takar benar, biar tidak terlalu banyak, namun tetap terasa kelezatannya. Sebagai gantinya,dia sering menggunakan penyedap alami seperti udang kering dan terasi. Entah bagaimana cara memasaknya, yang jelas seisi rumah sangat menikmatinya, tanpa harus membeli makanan tambahan di luar.
Walaupun wajahnya cantik dan cenderung banyak penggemar, tapi hatinya setia. Dia tidak pernah tergoda oleh harta benda yang sering diiming-imingkan banyak pria. Hidupnya sederhana, bersahaja, dia selalu tersenyum bahagia dan menerima dengan apa adanya dirinya. Selama ini hatinya hanya ia berikan untuk seorang lelaki yang sangat dikasihi dan mengasihinya, yaitu Hermawan.
Hermawan dikenal banyak orang sebagai lelaki pendiam. Dia orang rumahan yang tidak suka aneh-aneh dalam pergaulannya. Pekerjaannya sehari-hari hanyalah menulis cerpen dan sesekali membuat novel. Walaupun terkesan tertutup dan jarang keluar rumah, tapi pikiran dan wawasannya luas. Banyak ide cerita yang dituliskannya telah menginspirasi orang-orang. Ide-ide cemerlangnya, juga nasihat-nasihatnya dalam hidup ini banyak tersisip di dalam setiap dongeng yang dia tuliskan. Dia tidak melulu berkisah tentang cinta dan romantika saja, tetapi juga permasalahan serta konflik yang terkait hal-hal yang berbau politik, masalah sosial, bahkan keagamaan.
Tak jarang orang terkesan dengan pesan yang dibawa oleh setiap kisah yang dituliskannya, hampir setiap kisah seolah memiliki nasihat yang membuat ceritanya dianggap berbobot. Motivasi dalam hidup sering tertuang dalam setiap bab yang mengisi buku ceritanya. Memang sebagian besar masalah cinta, tapi tak jarang dia bisa memberikan motivasi dalam hal karir, kepemimpinan, hubungan interpersonal, bahkan pernah menginspirasi seorang pelajar untuk melanjutkan pendidikan tinggi di luar negeri.
Novelnya yang bertema cerita cinta berjudul "Pagutan Pagi Sepasang Merpati" sempat menjadi populer dan laku keras di pasaran. Banyak permintaan dari para pembaca untuk membuat kisah lanjutan dari cerita itu. Untuk itulah sekarang dia akrab berteman dengan laptop menggarap kelanjutan kisah cinta yang tiba-tiba melegenda itu. Dia pusatkan perhatian di setiap waktunya untuk menggarap novel barunya. Dia sangat tidak ingin mengecewakan para penggemar novelnya.
Tidak peduli pagi, siang, sore, bahkan tengah malam jika terjaga, dia akan selalu menyalakan laptopnya dan terus mengetik, mencurahkan seluruh perhatiannya untuk menuang segala isi kepala ke layar kaca di hadapannya. Kalau sudah begitu, ia tidak mau diganggu. Hanya secangkir kopi kadang sudah cukup untuk menemaninya mengetik dari tengah malam dia terjaga sampai pagi menjelang.
Dulu dia sering ditemani juga sama rokok. Tapi sekarang, sejak dia pulang dari rumah sakit karena infeksi saluran pernafasan, dia tidak pernah lagi merokok. Sesekali dia mencoba untuk nekad merokok lagi, tapi setiap kali kedapatan, Minah selalu mencabutnya dari mulut pria itu dan segera mematikannya. Sebagai gantinya, dikecupnya bibir pria itu dengan bibirnya yang lembut. Kalau sudah begitu, Hermawan tak lagi kuasa untuk berkata apa-apa, sekalipun untuk mengucapkan protes karena rokoknya dimatikan oleh Minah.
Mereka adalah pasangan serasi. Sama-sama sebagai pribadi yang selalu mengispirasi banyak orang. Bukan dengan kemewahannya, namun justru karena kesederhanaannya. Kesederhanaan yang bukan berarti tanpa pengetahuan dan wawasan. Justru karena kepandaiannya itu, mereka memilih gaya hidup yang sedemikian rupa. Selaras dengan alam yang melimpahkan cinta dan kecukupan.
Seperti pagi itu, ketika Minah sudah selesai dengan aktivitas memasaknya. Seperti biasa dia menghampiri Hermawan yang sedang sibuk dengan angan-angan. Pria itu hanya duduk di jendela lantai dua yang terbuka, menghirup udara pagi sambil mencari-cari inspirasi dengan mengamati hiruk-pikuk pagi di depan rumahnya.
"Sarapan sudah siap, Mas! Apa perlu Mimin bawakan kesini?" sapanya ramah.
Yang diajak bicara hanya menjawab dengan senyum. "Nanti saja, aku ingin sarapan sesuatu yang agak berbeda." jawabnya kemudian.
Minah membalasnya dengan senyum, sampai kedua tangannya ditarik oleh Hermawan menuju jendela. Seperti mau menunjukkan sesuatu di luar sana. Dilihatnya pagi itu masih hiruk pikuk orang-orang kampung yang hilir mudik di jalan depan rumah. Setelah sadar bahwa dia tidak menemukan sesuatu yang istimewa di luar sana, diapun menoleh ke Hermawan bertanya, "Ada apa, Mas?"
Dia baru sadar kalau lelaki itu memperhatikannya dari tadi, lalu menariknya mendekat. Keduanyapun berciuman, bibirnya melumat satu sama lain. Saling memagut, tak ubahnya dengan Pagutan Pagi Sepasang Merpati dalam kisah yang pernah dituturkan Hermawan di novelnya. Dari balik jendela itu mereka terus berciuman dan berpelukan. Merekapun akhirnya melanjutkan kemesraan seperti bisanya di ranjang.
Hermawan tidak hanya pandai bercinta dalam kisah-kisah yang dia tulis. Dalam prakteknya, dia dan Minah telah banyak menghabiskan waktu buat bermesraan dengan segala gaya dan posisi. Tak hanya di ranjang, dia juga sering melakukannya di kamar mandi, di dapur, di ruang tamu, di garasi, bahkan juga pernah di taman belakang rumah.
Seperti kemesraan sebelumnya, pagi itu mereka menghabiskan waktu berdua di ranjang kamar lantai dua, kamar dimana Hermawan menyibukkan sepanjang malamnya untuk mengetik. Hembusan angin dari jendela menambah sensasi percintaan mereka di sana. Rintihan dan desahan silih berganti mewarnai pagi itu. Cukup lama, hingga merekapun sampailah ke puncak asmara yang tak kalah indahnya dibanding kemesraan-kemesraan sebelumnya. Tiba-tiba terdengar bunyi klakson yang membahana di dalam garasi rumah mereka. Suara klakson yang sudah sangat tidak asing itupun menghentikan aktivitas mereka.
Bergegas berdua mengenakan kembali pakaian masing-masing yang berhamburan di dalam kamar. Hermawan kembali membuka laptop dan memulai kisah indah dalam lembaran bab baru novel barunya. Minah menuruni tangga dan bergegas membuka pintu yang menghubungkan garasi dengan kamar tengah.
"Selamat pagi, Mbak? Wah, banyak sekali oleh-olehnya, nih?" sapa Minah ramah kepada Riana sambil meraih tas besar yang barusan diturunkan dari dalam bagasi mobil.
"Mana mas Hermawan?" tanya Riana kepada Minah sambil melangkah ke dalam rumah tanpa basa-basi.
"Biasa, di kamarnya lagi sibuk mengetik." jawab Minah sambil mencoba mengangkat tas besar yang sarat muatan itu.
Rianapun langsung bergegas ke kamar lantai dua menemui suaminya. Sudah tiga hari dia pergi ke luar kota untuk urusan bisnis.
"Pagi, Mas? Ini nih, aku bawain oleh-oleh kesukaanmu. " kata Riana kepada Hermawan yang sedang sibuk mengetik.
0 komentar:
Posting Komentar