Karena harus menjalani upacara bendera memperingati Hari Proklamasi Kemerdekaan di kantor, saya harus bangun pagi-pagi untuk bergegas mandi dan bersiap diri. Padahal biasanya sehabis sholat shubuh saya melengkungkan badan lagi di tempat tidur sampai jam 07.00 baru beraktivitas kembali. Kali ini jam 06.30 sudah meluncur di jalanan yang tampak masih sunyi.
Hari ini memang hari libur, tanggal merah, jadi aktivitas manusia tidak seramai hari-hari biasanya. Anak-anak sekolahpun diliburkan. Entah mengapa mereka tidak lagi dilibatkan dalam memperingati Hari Kemerdekaan bangsa ini dengan menjalani upacara di sekolahnya masing-masing.
Tidak seperti waktu saya sekolah dulu, mengikuti upacara bendera hukumnya wajib. Bahkan beberapa perwakilan murid diharuskan mengikuti upacara di balaikota atau di stadion kota dimana pemerintah daerah setempat melaksanakan upacara bendera.
Sebelum jam 07.00 saya sudah tiba di kantor. Beberapa teman tampak melakukan gladi kecil-kecilan, terutama yang bertugas mengibarkan bendera. Sound system juga telah disiapkan sebagai pelengkap jalannya upacara tujuhbelasan itu.
Karena kepala kantor mendadak tidak bisa hadir oleh karena satu dan lain hal, maka serta-merta sayapun ditunjuk menjadi inspektur upacara. Tugas saya hanya membacakan sambutan dari Direktur Perusahaan di Pusat.
Maka hari inipun saya menjadi inspektur upacara. Hari ini pula, dalam sejarah hidup saya, untuk pertama kalinya menjadi inspektur upacara di Hari Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia ini. Walaupun cuman jadi inspektur kelas teri dalam sebuah upacara kecil-kecilan yang diselenggarakan di kantor, yang penting pernah jadi Inspektur upacara!
Yang membuat saya bangga bukan lantaran jadi inspekturnya, tapi saya merasakan sesuatu yang lain ketika saya membacakan sambutan dari Direksi itu. Karena saya membacanya langsung, maka seketika pemahaman juga langsung masuk ke dalam relung-relung hati saya. Terutama tentang kalimat yang menegaskan bahwa apa yang kita lakukan saat ini, di perusahaan ini, adalah bagian dari kegiatan mengisi kemerdekaan. Disamping itu, upacara ini juga dalam rangka menghormati jasa-jasa para pahlawan yang telah bersusah payah berjuang memperebutkan kemerdekaan ini.
Di dalam pikiran saya terlintas beberapa hal yang sempat saya renungkan tentang kemerdekaan. Hari merdeka itu jatuhnya tanggal 17 Agustus 1945. Jadi kalau tanggal setelah itu nggak tau, masih merdeka apa enggak. Tapi katanya, sekali merdeka tetap merdeka. Harapannya ya dari tahun 1945 itu sampai sekarang ya merdeka terus.
Tapi kenyataannya bagaimana? Di luar sana masih banyak yang bingung bagaimana mengartikan kemerdekaan. Ada yang sekedar mengartikannya sebagai kebebasan dari penjajah. Ada juga yang mengartikannya secara luas, yaitu terpenuhinya harapan dan keinginan individu yang beraneka ragam itu. Kalau yang jadi ukurannya adalah keinginan dan harapan-harapan kita yang belum terpenuhi, ya nggak ada istilah merdeka. Mati aja sana.
Menjadi penting memahami dan menanamkan kemerdekaan di dalam hati kita masing-masing. Sebagian besar orang menghubungkan kemerdekaan dengan kesejahteraan hidup. Ada yang bilang, bangsa kita ini belum merdeka, karena masih ada kesenjangan sosial yang menciptakan penduduk miskin.
Sampai kapanpun orang miskin akan selalu ada. Karena saya sendiripun sebenarnya juga bukan orang kaya. Kalau bukan orang kaya namanya apa? Ya miskin! Orang-orang seperti saya ini mungkin sudah boleh dibilang berkecukupan. Tapi kalau kondisi lagi menghimpit, sewaktu-waktu kemiskinan bisa melanda, seketika jatuh miskin. Lalu merdekanya kapan? Barangkali hanya kalau tanggal muda saja, barulah saya merdeka.
Saya jadi ingat postingan saya terdahulu yang temanya "Kalau saya miskin, masalah buat lu?" Disitu saya sebutkan bahwa orang miskin yang 'mutlak miskin' itu adalah orang yang tidak punya apa-apa, bahkan sehelai benangpun tidak ia punyai untuk sekedar menutupi tubuhnya. Telanjang bulat! Ada gambarnya. Seksi lagi! Coba buka saja postingan saya itu. Tapi ini cuman pandangan pribadi saya loh, pandangan yang melihat hidup ini jadi kelihatan indah dan seksi.
Kalau begitu saya juga belum merdeka. Saya belum punya tempat tinggal tetap, saya masih tinggal di perumahan, saya masih ditempatkan di luar Jawa, saya belum mampu beli Toyota Altis, anak saya baru dua, istri saya masih satu....
Kalau mind-set kita tentang kemerdekaan masih seperti itu, berhentilah bermimpi tentang kemerdekaan. Karena kemerdekaan dalam konteks seperti itu cuman khayalan, cuman miliknya para dewa yang bersemayam di khayangan sana. Bahkan dalam kisah pewayangan, khayangan juga tidak lepas dari ancaman pihak-pihak yang hendak mengusik setiap saat. Para dewapun ternyata tidak selamanya memiliki kemerdekaan.
Akhirnya kemerdekaan sejati hanya milik Sang Pencipta. Mutlak, tiada yang memiliki kemerdekaan selain Dia. Justru seharusnya kita merasa bersyukur lantaran bangsa ini sudah dianugerahi kemerdekaan olehNya. Bersyukur dengan mengenang jasa-jasa pejuang perebut kemerdekaan, lalu mengisinya dengan kegiatan-kegiatan positif.
Salah seorang teman saya di Facebook menulis statusnya, bahwa pada hari ini dia telah mengisi kemerdekaan dengan kegiatan-kegiatan positif, antara lain: memasak, mencuci, memomong anaknya yang masih kecil, serta melayani suami. Sayapun jadi orang pertama yang mengacungi jempol di status dia itu. Saya tidak pasang komentar, tidak enak aja. Mungkin karena dia perempuan, agak sensi kalau mau ngomentari soal "melayani suami" tadi. Hehehe...
Membaca status itu kita seharusnya sadar bahwa sesungguhnya mengisi kemerdekaan dengan hal positif itu tidak terlalu sulit untuk dilakukan. Hanya bagaimana kita menjalaninya dengan lebih ikhlas. Sebagaimana disebutkan oleh Direksi Perusahaan saya, bahwa kita memang harus bekerja lebih keras, lebih cerdas, serta lebih ikhlas untuk kemajuan bangsa ini.
Hari ini memang hari libur, tanggal merah, jadi aktivitas manusia tidak seramai hari-hari biasanya. Anak-anak sekolahpun diliburkan. Entah mengapa mereka tidak lagi dilibatkan dalam memperingati Hari Kemerdekaan bangsa ini dengan menjalani upacara di sekolahnya masing-masing.
Tidak seperti waktu saya sekolah dulu, mengikuti upacara bendera hukumnya wajib. Bahkan beberapa perwakilan murid diharuskan mengikuti upacara di balaikota atau di stadion kota dimana pemerintah daerah setempat melaksanakan upacara bendera.
Sebelum jam 07.00 saya sudah tiba di kantor. Beberapa teman tampak melakukan gladi kecil-kecilan, terutama yang bertugas mengibarkan bendera. Sound system juga telah disiapkan sebagai pelengkap jalannya upacara tujuhbelasan itu.
Karena kepala kantor mendadak tidak bisa hadir oleh karena satu dan lain hal, maka serta-merta sayapun ditunjuk menjadi inspektur upacara. Tugas saya hanya membacakan sambutan dari Direktur Perusahaan di Pusat.
Maka hari inipun saya menjadi inspektur upacara. Hari ini pula, dalam sejarah hidup saya, untuk pertama kalinya menjadi inspektur upacara di Hari Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia ini. Walaupun cuman jadi inspektur kelas teri dalam sebuah upacara kecil-kecilan yang diselenggarakan di kantor, yang penting pernah jadi Inspektur upacara!
Yang membuat saya bangga bukan lantaran jadi inspekturnya, tapi saya merasakan sesuatu yang lain ketika saya membacakan sambutan dari Direksi itu. Karena saya membacanya langsung, maka seketika pemahaman juga langsung masuk ke dalam relung-relung hati saya. Terutama tentang kalimat yang menegaskan bahwa apa yang kita lakukan saat ini, di perusahaan ini, adalah bagian dari kegiatan mengisi kemerdekaan. Disamping itu, upacara ini juga dalam rangka menghormati jasa-jasa para pahlawan yang telah bersusah payah berjuang memperebutkan kemerdekaan ini.
Di dalam pikiran saya terlintas beberapa hal yang sempat saya renungkan tentang kemerdekaan. Hari merdeka itu jatuhnya tanggal 17 Agustus 1945. Jadi kalau tanggal setelah itu nggak tau, masih merdeka apa enggak. Tapi katanya, sekali merdeka tetap merdeka. Harapannya ya dari tahun 1945 itu sampai sekarang ya merdeka terus.
Tapi kenyataannya bagaimana? Di luar sana masih banyak yang bingung bagaimana mengartikan kemerdekaan. Ada yang sekedar mengartikannya sebagai kebebasan dari penjajah. Ada juga yang mengartikannya secara luas, yaitu terpenuhinya harapan dan keinginan individu yang beraneka ragam itu. Kalau yang jadi ukurannya adalah keinginan dan harapan-harapan kita yang belum terpenuhi, ya nggak ada istilah merdeka. Mati aja sana.
Menjadi penting memahami dan menanamkan kemerdekaan di dalam hati kita masing-masing. Sebagian besar orang menghubungkan kemerdekaan dengan kesejahteraan hidup. Ada yang bilang, bangsa kita ini belum merdeka, karena masih ada kesenjangan sosial yang menciptakan penduduk miskin.
Sampai kapanpun orang miskin akan selalu ada. Karena saya sendiripun sebenarnya juga bukan orang kaya. Kalau bukan orang kaya namanya apa? Ya miskin! Orang-orang seperti saya ini mungkin sudah boleh dibilang berkecukupan. Tapi kalau kondisi lagi menghimpit, sewaktu-waktu kemiskinan bisa melanda, seketika jatuh miskin. Lalu merdekanya kapan? Barangkali hanya kalau tanggal muda saja, barulah saya merdeka.
Saya jadi ingat postingan saya terdahulu yang temanya "Kalau saya miskin, masalah buat lu?" Disitu saya sebutkan bahwa orang miskin yang 'mutlak miskin' itu adalah orang yang tidak punya apa-apa, bahkan sehelai benangpun tidak ia punyai untuk sekedar menutupi tubuhnya. Telanjang bulat! Ada gambarnya. Seksi lagi! Coba buka saja postingan saya itu. Tapi ini cuman pandangan pribadi saya loh, pandangan yang melihat hidup ini jadi kelihatan indah dan seksi.
Kalau begitu saya juga belum merdeka. Saya belum punya tempat tinggal tetap, saya masih tinggal di perumahan, saya masih ditempatkan di luar Jawa, saya belum mampu beli Toyota Altis, anak saya baru dua, istri saya masih satu....
Kalau mind-set kita tentang kemerdekaan masih seperti itu, berhentilah bermimpi tentang kemerdekaan. Karena kemerdekaan dalam konteks seperti itu cuman khayalan, cuman miliknya para dewa yang bersemayam di khayangan sana. Bahkan dalam kisah pewayangan, khayangan juga tidak lepas dari ancaman pihak-pihak yang hendak mengusik setiap saat. Para dewapun ternyata tidak selamanya memiliki kemerdekaan.
Akhirnya kemerdekaan sejati hanya milik Sang Pencipta. Mutlak, tiada yang memiliki kemerdekaan selain Dia. Justru seharusnya kita merasa bersyukur lantaran bangsa ini sudah dianugerahi kemerdekaan olehNya. Bersyukur dengan mengenang jasa-jasa pejuang perebut kemerdekaan, lalu mengisinya dengan kegiatan-kegiatan positif.
Salah seorang teman saya di Facebook menulis statusnya, bahwa pada hari ini dia telah mengisi kemerdekaan dengan kegiatan-kegiatan positif, antara lain: memasak, mencuci, memomong anaknya yang masih kecil, serta melayani suami. Sayapun jadi orang pertama yang mengacungi jempol di status dia itu. Saya tidak pasang komentar, tidak enak aja. Mungkin karena dia perempuan, agak sensi kalau mau ngomentari soal "melayani suami" tadi. Hehehe...
Membaca status itu kita seharusnya sadar bahwa sesungguhnya mengisi kemerdekaan dengan hal positif itu tidak terlalu sulit untuk dilakukan. Hanya bagaimana kita menjalaninya dengan lebih ikhlas. Sebagaimana disebutkan oleh Direksi Perusahaan saya, bahwa kita memang harus bekerja lebih keras, lebih cerdas, serta lebih ikhlas untuk kemajuan bangsa ini.
0 komentar:
Posting Komentar