Sepasukan bersenjata pedang dan tombak sudah hadir di depan mataku, siap merangsek masuk ke dalam gerbang kota Caruban yang saat ini aku jaga. Ada sekitar 1500 orang anggota pasukan yang sengaja hendak menyerbu kota, sedangkan aku sendirian. Sungguh ini tidak masuk akal.
Sudah lama rakyat Caruban tidak bayar pajak dan upeti kepada sang Raja. Paceklik yang melanda beberapa kali sempat membuat perekonomian kami hancur. Pajak dan upeti itu hanya menambah masalah saja. Maunya penguasa hanya mengeruk harta, tanpa memandang kondisi kami yang merana. Masih bagus kalau membantu, perhatianpun tidak. Tidak peduli kondisi sedang mencekik, para penguasa malahan menambah beban derita rakyat. Jangankan buat bayar pajak, menghidupi keluargapun rakyat kami terseok-seok.
Mungkin karena alasan itulah mereka mendatangkan pasukan untuk menghancurkan kota kami, yang menurut pandangan mereka mungkin sudah dianggap memberontak.
Entah setan mana yang merasukiku, hingga aku mau-mau saja menjalani peranan ini. Seorang kesatria tua yang mendapat kepercayaan menjaga gerbang kota seorang diri hanya dengan bersenjatakan sebilah pedang tua yang tumpul.
Walau berada di bawah matahari yang terik, aku mencoba untuk tetap berdiri tenang. Segala kemungkinan yang terjadipun siap aku hadapi. Aku hanya perlu tahu, apakah aku benar-benar harus bertarung, ataukah sebatas negosiasi dengan pimpinan pasukan yang siap tempur itu.
Seorang diantara mereka akhirnya datang mendekatiku, seorang pemuda tampan berbadan tegap mengendarai kuda hitam legam. Dengan pakaiannya yang mentereng itu, sepertinya dia seorang pejabat kerajaan yang tidak main-main. Dengan menunggang kuda hitamnya ia mendekatiku lalu turun dan memberi hormat kepadaku.
Aku tidak pernah diperlakukan seperti ini sebelumnya. Bahkan sebenarnya aku merasa tidak pantas menerima penghormatan yang dia lakukan. Tapi mungkin dia punya banyak pertimbangan. Keberadaanku seorang diri dihadapan pasukan beranggotakan sekitar 1500 orang itulah mungkin yang menyebabkan dia perlu memperhitungkan diriku. Bahwasanya mungkin dipikirnya aku bukan kesatria sembarangan.
Untuk itu aku tetap harus menjaga wibawa diri. Walau hati cemas dan ragu, aku berusaha tetap tenang. Aku tidak sedikitpun mengubah posisi berdiriku, bahkan pandanganku tetap kuarahkan lurus ke depan. Sesaat dia memperhatikan aku, mungkin tengah menimbang-nimbang segala kemungkinan akan kemampuan yang aku miliki. Sampai akhirnya dia memulai pembicaraan.
“Wahai, Kisanak. Gerangan apa yang membuat engkau berdiri di sini, sedangkan engkau tahu pasukan di belakangku akan segera menyerang kota?”
Sepertinya upaya diplomasi sudah dimulai. Aku sendiri tidak tahu harus bilang apa.
“Siapa yang memimpin pasukan di hadapanku itu?” tiba-tiba kata-kata itu seperti mengalir begitu saja dari rongga mulutku.
“Rang Ugal, Raja dari Lanteras”
“Aku berdiri di sini karena ada sesuatu yang ingin kusampaikan pada pemimpin pasukan itu.” Akupun kemudian melanjutkan kata-kataku itu, tanpa basa-basi.
“Kalau begitu, katakan saja padaku, Kisanak! Aku akan menyampaikan padanya.”
Rupanya dia bukan pimpinan pasukan itu. Aku mulai menatap wajahnya. Lalu bertanya, "Kamu sendiri siapa?"
“Aku.. eh, aku Rang Guti, Raja Lantaram.”
Mendengar jawaban itu, aku sedikit heran. Pemuda ingusan ini mengaku seorang raja. Bahkan akupun bisa memperhitungkan kemampuannya.
Melihat pandangan heranku, dia hanya membalasnya dengan tersenyum saja.
Akupun membalas senyum itu dengan senyum sedikit sinis, sedikit kernyitan di dahi, lalu berusaha menjaga sikap wibawa dengan kembali menatap ke depan.
“Katakan padanya untuk membawa pergi pasukannya dari sini atau mereka akan berhadapan dengan Pedang Tiga Belas Depa!” kali ini aku sudah mulai tahu siapa yang kuhadapi. Mereka tak lebih dari pasukan sampah dari kerajaan-kerajaan yang dipimpin oleh para raja ingusan.
“Kau dengar ucapanku dengan jelas?” kali ini aku sudah bisa berkata sedikit lantang.
“Oh.. ya.” dia tampak mengangguk.
“Sampaikan segera.” tegasku.
“Eh.., baik. Aku akan menyampaikannya.”
Dalam hati aku tersenyum geli sendiri. Sepertinya sosok yang kuperankan ini tampak begitu berkharisma dimatanya. Dengan kata-kata yang kuucapkan secara tegas, membuat sang Raja itu merasa seperti anak kecil yang harus mematuhiku. Dia tampak bergegas naik ke atas pelana kuda dan berbalik arah meninggalkan aku.
Aku sendiri juga masih penasaran dengan "Pedang Tiga Belas Depa" yang dibekalkan untukku ini. Mereka menyerahkan pedang ini tanpa sarung sama sekali. Dengan seadanya pula aku menggantungkan pedang itu di pinggang. Kalau dilihat wujudnya, tidak jauh beda dengan pedang lainnya. Bahkan permukaannya tampak lusuh, kasar dan tumpul. Tampak tidak terawat. Ini lebih menyerupai parang besi yang ditajamkan di kedua sisinya. Aku tidak yakin kalau pedang ini bisa melukai orang. Apalagi orang-orang sakti seperti para raja yang nampak ingusan itu. Panjangnya tidak seberapa, tapi mengapa dijuluki "Pedang Tiga Belas Depa"?
Konon kisahnya sebuah tebasan pedang ini bisa membelah pasukan seperti membelah roti. Tebasan-tebasan berikutnya, memporak-porandakan barisan seperti mencacah kentang. Semua bisa berlangsung sekejap saja.
Aku tetap berusaha berdiri tegak di tempat dan terus mengamati gerak-gerik lawan. Aku tengah menjalankan semacam avatar sosok kesatria kuno dengan setting jaman kerajaan nggak jelas. Tapi tentang pedang ini, kuakui sungguh suatu imajinasi yang luar biasa.
Ada satu cerita paling tak bisa kulupa tentang kehebatan pedang ini. Bagaimana mungkin seorang diri menghabisi 3000 orang hanya dengan 25 kali sabetan pedang? Rasanya aku beruntung diberi kesempatan untuk menjadi seorang pemain pedang sakti ini.
Kulihat mereka sedang berkompromi. Pemuda yang barusan menemuiku tampak sedang diledekin sama yang lainnya. Betapa tidak? Anak selugu itu menjadi raja dan menjadi pimpinan pasukan sebanyak itu.
Tak lama kemudian pemuda tadi tampak bercakap-cakap dengan beberapa anggota pasukannya.
Aku tidak sabar bagaimana rasanya mencoba kehebatan Pedang Tiga Belas Depa ini. Aku mencoba tetap tenang, menikmati perananku yang konyol dan sedikit lucu. Tugasku hanya diam sekarang. Tapi aku penasaran, apa yang sebenarnya mereka ributkan di depan sana.
Akupun menyalakan fitur "intai" dari chip yang tersembunyi di pergelangan tanganku. Sehingga semua pembicaraan mereka bisa kudengar dengan jelas.
***
“Ingat Guti, antara aku dan kamu sudah ada kesepakatan. Kamu tak akan ingkar janji, kan?" kata salah satu dari mereka.
“Sama sekali tidak, Rang Ugal. Hanya saja, apa yang kita dapati saat ini tidak sesuai dengan kesepakatan itu.”
“Jangan membuatku bingung! Katakan apa maksudmu dengan ‘tidak sesuai’ itu!”
“Sesuai kesepakatan, aku bersedia membantumu jika memang seluruh penduduk Caruban angkat senjata melawanmu. Tapi, seperti kau lihat. Ternyata hanya satu orang saja yang berani melawanmu. Itu jelas bukan pemberontakan.”
Hmm... debat mereka rupanya seru juga.
“Sudah tiga bulan lebih Caruban tidak membayar upeti padaku. Itu sama saja menantangku! Aku datang untuk menghukum mereka dengan keras.”
“Aku pahami itu. Tapi kau juga seharusnya tahu, musim kemarau kali ini sangat panjang dan belum juga ada tanda-tanda akan berakhir. Sebulan lagi masa panen tiba. Mungkin saat itu mereka bisa membayar upeti padamu.”
“Kau benar-benar harus belajar banyak, Guti! Kau lihat pasukanku? Mereka sudah dua bulan tak mendapat upah. Padahal dengan tenaga merekalah aku dapat menguasai banyak kota dan negeri, serta memastikan apa yang kudapat tetap dalam genggamanku. Aku tak bisa membiarkan mereka melemah hanya karena masalah ini. Selama ini mereka telah menunjukan kesetiaannya padaku. Caruban akan menjadi ganjaran bagi mereka sebagai gantinya. Aku akan membiarkan pasukanku berbuat apa saja di sana sepuasnya. Sekaligus ini akan menjadi pelajaran untuk kota-kota lain di bawah kekuasaanku.”
Hening sejenak, ada yang sedang keras berpikir.
“Sepertinya kita memiliki pandangan yang berbeda mengenai masalah ini, Rang Ugal.”
Kedua orang itu saling menatap tajam.
“Jangan katakan kau hendak menarik dukunganmu padaku, Guti!”
“Untuk menghadapi orang itu, kau tak memerlukan pasukanku, Rang Ugal. Kau paham itu.”
“Terserah kau. Tapi ingat, kau tak akan mendapat rampasan perang sedikitpun dariku.” Gertakan itu disertai dengan telunjuk teracung ke wajah lawan bicaranya.
“Aku pikir itu cukup adil.” jawaban itu disertai gerakan meninggalkan pembicaraan. Dihelanya tali kekang kuda yang ditungganginya berbalik menuju pasukan lainnya. “Kami akan menunggumu di bukit sebelah timur. Berjaga-jaga, jika situasi berubah.”
Yang diajak bicara hanya terdiam. Rahangnya mengeras. Matanya mendelik.
“Camkan kata-kataku, Rang Guti. Jika masalahku di sini selesai, sasaran berikut dari pasukanku adalah istanamu. Akan aku ratakan kotamu di atas permukaan bumi!”
Sumpah serapah itu menggelegak penuh amarah, terdengar bagai bunyi desing sebilah pedang yang diayun dan ditangkis.
****
Akhirnya sebagian dari pasukan itu memisahkan diri dari pasukan lain dan bergerak ke samping kiri menuju gundukan bukit di sebelah timur. Sekitar dua pertiga anggota pasukan tetap tinggal dan sepertinya mereka akan menuju ke arahku.
Ini dia, saat yang kutunggu telah datang. Pertunjukan dimulai! Aku mengambil pedangku yang tergantung di pinggang, yang memang sudah telanjang dari kemarin-kemarin. Aku masih belum yakin tentang pedang ini. Akh, biar saja. Kalaupun aku mati, hanya avatarku yang mati. Aku bisa mengambil peran lain yang lebih menantang.
Merekapun benar-benar nekad. Apa mereka tidak berpikir, sebanyak itu pasukan hanya buat meladeni aku seorang diri? Apa mereka juga sudah banyak tahu tentang kemashuran pedang sakti ini? Pasukan yang dipimpin oleh Rang Ugal itu mulai mengepungku, membentuk lengkungan setengah lingkaran dan semuanya menghunus pedang.
Sepertinya mereka sudah tidak mau berbasa-basi lagi. Lingkaran itu mengecil, mendekat serentak. Saat mereka mulai dalam jangkauan, aku mulai mengibaskan pedang ini.
Whuzz... mereka berhamburan seperti kapas yang keluar dari bantal. Lebih dari 50 orang tergeletak seketika. Bahkan orang-orang yang di lapisan belakangnya ikut tumbang. Ada yang mendekat dari belakangku. Aku berbalik sambil mengayunkan lagi, terbelah dan terlemparlah pasukan di belakangku. Ada hampir seratus orang meregang nyawa. Akupun makin bersemangat, dengan tenang melangkahi mayat-mayat dan menghampiri orang-orang yang masih menghadang.
Ayunan demi ayunan memakan korban yang tidak sedikit. Sebagian orang yang menyaksikan mulai panik dan lari menjauh. Sebagian yang masih ragu-ragu akhirnya terkena tebasan pedang sakti ini.
Sekilas pedang ini hanyalah seperti parang tumpul bermata dua. Tapi jauh di ujung pedang ini seperti terbuat dari bahan kasat mata yang sangat tajam dan ringan. Begitu terkena sabetan pedang ini, orang-orang langsung meregang nyawa tanpa terluka. Badannya terlempar dan saling menimpa satu sama lain. Sebagian mungkin terluka oleh pedang mereka sendiri.
Tak lebih dari sepuluh ayunan, pasukan itu telah habis, kecuali mereka yang sengaja melarikan diri karena menyadari akan kekuatan yang tidak mungkin mereka hadapi.
Sepertinya pertempuran telah selesai. Kulihat pasukan Rang Guti yang sedari tadi hanya mengawasi dari atas bukit tampak tidak berkutik. Rupanya mereka menyaksikan sendiri kekuatan dahsyat Pedang Tiga Belas Depa ini.
Sudah lama rakyat Caruban tidak bayar pajak dan upeti kepada sang Raja. Paceklik yang melanda beberapa kali sempat membuat perekonomian kami hancur. Pajak dan upeti itu hanya menambah masalah saja. Maunya penguasa hanya mengeruk harta, tanpa memandang kondisi kami yang merana. Masih bagus kalau membantu, perhatianpun tidak. Tidak peduli kondisi sedang mencekik, para penguasa malahan menambah beban derita rakyat. Jangankan buat bayar pajak, menghidupi keluargapun rakyat kami terseok-seok.
Mungkin karena alasan itulah mereka mendatangkan pasukan untuk menghancurkan kota kami, yang menurut pandangan mereka mungkin sudah dianggap memberontak.
Entah setan mana yang merasukiku, hingga aku mau-mau saja menjalani peranan ini. Seorang kesatria tua yang mendapat kepercayaan menjaga gerbang kota seorang diri hanya dengan bersenjatakan sebilah pedang tua yang tumpul.
Walau berada di bawah matahari yang terik, aku mencoba untuk tetap berdiri tenang. Segala kemungkinan yang terjadipun siap aku hadapi. Aku hanya perlu tahu, apakah aku benar-benar harus bertarung, ataukah sebatas negosiasi dengan pimpinan pasukan yang siap tempur itu.
Seorang diantara mereka akhirnya datang mendekatiku, seorang pemuda tampan berbadan tegap mengendarai kuda hitam legam. Dengan pakaiannya yang mentereng itu, sepertinya dia seorang pejabat kerajaan yang tidak main-main. Dengan menunggang kuda hitamnya ia mendekatiku lalu turun dan memberi hormat kepadaku.
Aku tidak pernah diperlakukan seperti ini sebelumnya. Bahkan sebenarnya aku merasa tidak pantas menerima penghormatan yang dia lakukan. Tapi mungkin dia punya banyak pertimbangan. Keberadaanku seorang diri dihadapan pasukan beranggotakan sekitar 1500 orang itulah mungkin yang menyebabkan dia perlu memperhitungkan diriku. Bahwasanya mungkin dipikirnya aku bukan kesatria sembarangan.
Untuk itu aku tetap harus menjaga wibawa diri. Walau hati cemas dan ragu, aku berusaha tetap tenang. Aku tidak sedikitpun mengubah posisi berdiriku, bahkan pandanganku tetap kuarahkan lurus ke depan. Sesaat dia memperhatikan aku, mungkin tengah menimbang-nimbang segala kemungkinan akan kemampuan yang aku miliki. Sampai akhirnya dia memulai pembicaraan.
“Wahai, Kisanak. Gerangan apa yang membuat engkau berdiri di sini, sedangkan engkau tahu pasukan di belakangku akan segera menyerang kota?”
Sepertinya upaya diplomasi sudah dimulai. Aku sendiri tidak tahu harus bilang apa.
“Siapa yang memimpin pasukan di hadapanku itu?” tiba-tiba kata-kata itu seperti mengalir begitu saja dari rongga mulutku.
“Rang Ugal, Raja dari Lanteras”
“Aku berdiri di sini karena ada sesuatu yang ingin kusampaikan pada pemimpin pasukan itu.” Akupun kemudian melanjutkan kata-kataku itu, tanpa basa-basi.
“Kalau begitu, katakan saja padaku, Kisanak! Aku akan menyampaikan padanya.”
Rupanya dia bukan pimpinan pasukan itu. Aku mulai menatap wajahnya. Lalu bertanya, "Kamu sendiri siapa?"
“Aku.. eh, aku Rang Guti, Raja Lantaram.”
Mendengar jawaban itu, aku sedikit heran. Pemuda ingusan ini mengaku seorang raja. Bahkan akupun bisa memperhitungkan kemampuannya.
Melihat pandangan heranku, dia hanya membalasnya dengan tersenyum saja.
Akupun membalas senyum itu dengan senyum sedikit sinis, sedikit kernyitan di dahi, lalu berusaha menjaga sikap wibawa dengan kembali menatap ke depan.
“Katakan padanya untuk membawa pergi pasukannya dari sini atau mereka akan berhadapan dengan Pedang Tiga Belas Depa!” kali ini aku sudah mulai tahu siapa yang kuhadapi. Mereka tak lebih dari pasukan sampah dari kerajaan-kerajaan yang dipimpin oleh para raja ingusan.
“Kau dengar ucapanku dengan jelas?” kali ini aku sudah bisa berkata sedikit lantang.
“Oh.. ya.” dia tampak mengangguk.
“Sampaikan segera.” tegasku.
“Eh.., baik. Aku akan menyampaikannya.”
Dalam hati aku tersenyum geli sendiri. Sepertinya sosok yang kuperankan ini tampak begitu berkharisma dimatanya. Dengan kata-kata yang kuucapkan secara tegas, membuat sang Raja itu merasa seperti anak kecil yang harus mematuhiku. Dia tampak bergegas naik ke atas pelana kuda dan berbalik arah meninggalkan aku.
Aku sendiri juga masih penasaran dengan "Pedang Tiga Belas Depa" yang dibekalkan untukku ini. Mereka menyerahkan pedang ini tanpa sarung sama sekali. Dengan seadanya pula aku menggantungkan pedang itu di pinggang. Kalau dilihat wujudnya, tidak jauh beda dengan pedang lainnya. Bahkan permukaannya tampak lusuh, kasar dan tumpul. Tampak tidak terawat. Ini lebih menyerupai parang besi yang ditajamkan di kedua sisinya. Aku tidak yakin kalau pedang ini bisa melukai orang. Apalagi orang-orang sakti seperti para raja yang nampak ingusan itu. Panjangnya tidak seberapa, tapi mengapa dijuluki "Pedang Tiga Belas Depa"?
Konon kisahnya sebuah tebasan pedang ini bisa membelah pasukan seperti membelah roti. Tebasan-tebasan berikutnya, memporak-porandakan barisan seperti mencacah kentang. Semua bisa berlangsung sekejap saja.
Aku tetap berusaha berdiri tegak di tempat dan terus mengamati gerak-gerik lawan. Aku tengah menjalankan semacam avatar sosok kesatria kuno dengan setting jaman kerajaan nggak jelas. Tapi tentang pedang ini, kuakui sungguh suatu imajinasi yang luar biasa.
Ada satu cerita paling tak bisa kulupa tentang kehebatan pedang ini. Bagaimana mungkin seorang diri menghabisi 3000 orang hanya dengan 25 kali sabetan pedang? Rasanya aku beruntung diberi kesempatan untuk menjadi seorang pemain pedang sakti ini.
Kulihat mereka sedang berkompromi. Pemuda yang barusan menemuiku tampak sedang diledekin sama yang lainnya. Betapa tidak? Anak selugu itu menjadi raja dan menjadi pimpinan pasukan sebanyak itu.
Tak lama kemudian pemuda tadi tampak bercakap-cakap dengan beberapa anggota pasukannya.
Aku tidak sabar bagaimana rasanya mencoba kehebatan Pedang Tiga Belas Depa ini. Aku mencoba tetap tenang, menikmati perananku yang konyol dan sedikit lucu. Tugasku hanya diam sekarang. Tapi aku penasaran, apa yang sebenarnya mereka ributkan di depan sana.
Akupun menyalakan fitur "intai" dari chip yang tersembunyi di pergelangan tanganku. Sehingga semua pembicaraan mereka bisa kudengar dengan jelas.
***
“Ingat Guti, antara aku dan kamu sudah ada kesepakatan. Kamu tak akan ingkar janji, kan?" kata salah satu dari mereka.
“Sama sekali tidak, Rang Ugal. Hanya saja, apa yang kita dapati saat ini tidak sesuai dengan kesepakatan itu.”
“Jangan membuatku bingung! Katakan apa maksudmu dengan ‘tidak sesuai’ itu!”
“Sesuai kesepakatan, aku bersedia membantumu jika memang seluruh penduduk Caruban angkat senjata melawanmu. Tapi, seperti kau lihat. Ternyata hanya satu orang saja yang berani melawanmu. Itu jelas bukan pemberontakan.”
Hmm... debat mereka rupanya seru juga.
“Sudah tiga bulan lebih Caruban tidak membayar upeti padaku. Itu sama saja menantangku! Aku datang untuk menghukum mereka dengan keras.”
“Aku pahami itu. Tapi kau juga seharusnya tahu, musim kemarau kali ini sangat panjang dan belum juga ada tanda-tanda akan berakhir. Sebulan lagi masa panen tiba. Mungkin saat itu mereka bisa membayar upeti padamu.”
“Kau benar-benar harus belajar banyak, Guti! Kau lihat pasukanku? Mereka sudah dua bulan tak mendapat upah. Padahal dengan tenaga merekalah aku dapat menguasai banyak kota dan negeri, serta memastikan apa yang kudapat tetap dalam genggamanku. Aku tak bisa membiarkan mereka melemah hanya karena masalah ini. Selama ini mereka telah menunjukan kesetiaannya padaku. Caruban akan menjadi ganjaran bagi mereka sebagai gantinya. Aku akan membiarkan pasukanku berbuat apa saja di sana sepuasnya. Sekaligus ini akan menjadi pelajaran untuk kota-kota lain di bawah kekuasaanku.”
Hening sejenak, ada yang sedang keras berpikir.
“Sepertinya kita memiliki pandangan yang berbeda mengenai masalah ini, Rang Ugal.”
Kedua orang itu saling menatap tajam.
“Jangan katakan kau hendak menarik dukunganmu padaku, Guti!”
“Untuk menghadapi orang itu, kau tak memerlukan pasukanku, Rang Ugal. Kau paham itu.”
“Terserah kau. Tapi ingat, kau tak akan mendapat rampasan perang sedikitpun dariku.” Gertakan itu disertai dengan telunjuk teracung ke wajah lawan bicaranya.
“Aku pikir itu cukup adil.” jawaban itu disertai gerakan meninggalkan pembicaraan. Dihelanya tali kekang kuda yang ditungganginya berbalik menuju pasukan lainnya. “Kami akan menunggumu di bukit sebelah timur. Berjaga-jaga, jika situasi berubah.”
Yang diajak bicara hanya terdiam. Rahangnya mengeras. Matanya mendelik.
“Camkan kata-kataku, Rang Guti. Jika masalahku di sini selesai, sasaran berikut dari pasukanku adalah istanamu. Akan aku ratakan kotamu di atas permukaan bumi!”
Sumpah serapah itu menggelegak penuh amarah, terdengar bagai bunyi desing sebilah pedang yang diayun dan ditangkis.
****
Akhirnya sebagian dari pasukan itu memisahkan diri dari pasukan lain dan bergerak ke samping kiri menuju gundukan bukit di sebelah timur. Sekitar dua pertiga anggota pasukan tetap tinggal dan sepertinya mereka akan menuju ke arahku.
Ini dia, saat yang kutunggu telah datang. Pertunjukan dimulai! Aku mengambil pedangku yang tergantung di pinggang, yang memang sudah telanjang dari kemarin-kemarin. Aku masih belum yakin tentang pedang ini. Akh, biar saja. Kalaupun aku mati, hanya avatarku yang mati. Aku bisa mengambil peran lain yang lebih menantang.
Merekapun benar-benar nekad. Apa mereka tidak berpikir, sebanyak itu pasukan hanya buat meladeni aku seorang diri? Apa mereka juga sudah banyak tahu tentang kemashuran pedang sakti ini? Pasukan yang dipimpin oleh Rang Ugal itu mulai mengepungku, membentuk lengkungan setengah lingkaran dan semuanya menghunus pedang.
Sepertinya mereka sudah tidak mau berbasa-basi lagi. Lingkaran itu mengecil, mendekat serentak. Saat mereka mulai dalam jangkauan, aku mulai mengibaskan pedang ini.
Whuzz... mereka berhamburan seperti kapas yang keluar dari bantal. Lebih dari 50 orang tergeletak seketika. Bahkan orang-orang yang di lapisan belakangnya ikut tumbang. Ada yang mendekat dari belakangku. Aku berbalik sambil mengayunkan lagi, terbelah dan terlemparlah pasukan di belakangku. Ada hampir seratus orang meregang nyawa. Akupun makin bersemangat, dengan tenang melangkahi mayat-mayat dan menghampiri orang-orang yang masih menghadang.
Ayunan demi ayunan memakan korban yang tidak sedikit. Sebagian orang yang menyaksikan mulai panik dan lari menjauh. Sebagian yang masih ragu-ragu akhirnya terkena tebasan pedang sakti ini.
Sekilas pedang ini hanyalah seperti parang tumpul bermata dua. Tapi jauh di ujung pedang ini seperti terbuat dari bahan kasat mata yang sangat tajam dan ringan. Begitu terkena sabetan pedang ini, orang-orang langsung meregang nyawa tanpa terluka. Badannya terlempar dan saling menimpa satu sama lain. Sebagian mungkin terluka oleh pedang mereka sendiri.
Tak lebih dari sepuluh ayunan, pasukan itu telah habis, kecuali mereka yang sengaja melarikan diri karena menyadari akan kekuatan yang tidak mungkin mereka hadapi.
Sepertinya pertempuran telah selesai. Kulihat pasukan Rang Guti yang sedari tadi hanya mengawasi dari atas bukit tampak tidak berkutik. Rupanya mereka menyaksikan sendiri kekuatan dahsyat Pedang Tiga Belas Depa ini.
0 komentar:
Posting Komentar