Baru-baru ini saya sering mendengar istilah ini. Terkait dengan pemberitaan di jagat maya bahwa pak Presiden SBY sedang menerima penghargaan kenegarawanan dari sebuah yayasan antaragama AS, yang dinilai oleh sebagian kalangan hanyalah sebuah pencitraan.
Begitu pula pak Gubernur DKI Jokowi yang banyak dinilai melakukan pencitraan diri dengan kegiatan-kegiatan pemerintahannya yang kontroversial.
Pencitraan adalah suatu upaya pembentukan opini publik sesuai dengan harapan pihak yang melakukan pencitraan tersebut. Pencitraan, tentunya berupa upaya-upaya yang ditujukan untuk mencari nama baik, mengharumkan nama, mengambil hati masyarakat umum dengan tujuan tertentu. Ya dalam hal ini untuk mempertahankan kekuasaannya.
Pencitraan tidak selamanya harus dinilai negatif. Karena sebenarnya pencitraan itu sendiri menurut saya justru merupakan sebuah upaya positif. Akan dinilai negatif jika memang ada kesenjangan yang mencolok antara kenyataan sebelumnya dengan upaya pencitraan itu sendiri. Misalnya saja, contoh mudah yang sering terjadi di kampung saya dulu adalah: seorang bekas pencuri yang mendadak berubah jadi ustad. Kelihatan banget jadi ustadnya setengah hati, habis itu nggak lama, balik lagi jadi pencuri.
Saya tidak jarang melakukan pencitraan. Kepada siapapun. Termasuk kepada anak saya yang baru belajar bicara. Dia selalu mengatakan bahwa dirinya itu cantik, seperti kakaknya dan juga ibunya. Sedangkan bapak itu ganteng. Kadang dia juga sering bercerita kepada orang-orang, baik tetangga maupun teman-teman saya, bahwa bapaknya ganteng. Memang keluguannya bisa membikin saya tersipu malu. Tapi tentu jauh lebih memalukan kalau sampai dia bilang bapaknya jelek.
Jelas dia belum tahu apa itu ganteng, apa itu cantik. Yang dia tahu kalau perempuan cantik itu yang rambutnya panjang, memakai rok panjang mengembang berwarna pink, nggak jauh-jauh dari bayangannya tentang boneka Barbie kesayangannya. Sedangkan pria ganteng itu yang seperti bapaknya. Saya pernah menunjukkan padanya foto Attalarik Syach dan mencoba bertanya "Dia sama bapak gantengan mana?"
"Gantengan Bapak!" katanya.
Apalagi kalau saya tunjukin fotonya Johnny Depp yang berdandan ala begundal Karibia, jelas dia akan dengan tegas menunjuk bapaknya yang lebih ganteng. Padahal sama-sama berkumis, loh?
Itu semua karena pencitraan.
Saya sedang berusaha memahami bahwa pencitraan itu perlu. Tak peduli kata orang. Yang penting nggak berlebihan saja sih.
Lain halnya dengan mencari sensasi. Mencari sensasi ini misalnya seorang penyanyi dangdut yang tidak begitu terkenal, tiba-tiba pasang tatoo di pantat, lalu mengenakan bikini seksi di pantai. Pasang badan agar dibidik oleh paparazzi sehingga menjadi topik hangat di media gosip. Atau kalau nggak dia memakai pakaian yang super nyleneh, bukan hanya mempertontonkan payudara tapi juga membuat heboh dengan mengenakan beha dari kulit durian.
Terakhir, pencitraan juga terkait dengan profesionalisme. Saya tidak pernah tahu sebelumnya kalau guru Bahasa Inggris saya dulu ternyata berasal dari keluarga tak mampu. Dia menjadi tulang punggung keluarganya menjadi guru tidak tetap. Bahkan untuk seorang Ibu Guru yang tampil elegan seperti itu ternyata memiliki adik kandung yang cacat mental. Sampai akhirnya, ketika guru wali kelas saya berbicara dalam rangka memotivasi anak didiknya, dia mengambil beberapa contoh suri teladan yang patut diacungi jempol. Salah satunya adalah ibu guru Bahasa Inggris tersebut.
Tapi jujur. Dalam prakteknya, pencitraan itu tidaklah mudah. Saya kadang merasa capek kalau harus terus-menerus melakukan pencitraan. Banyak orang kadang lebih suka tampil apa adanya. Kadang-kadang saya juga merasa lebih enak jadi orang apa adanya. Disinilah saya sering bingung, harus mengambil peran yang mana. Menjadi orang yang sok ganteng tapi nyatanya jelek, atau jadi orang jelek yang ngaku ganteng biar diketawain orang. Yang terakhir ini contohnya mudah saja. Siapa yang gak kenal Tukul Arwana?
Yang bijaksana sajalah, yang saya maksud bukan soal ganteng dan jelek saja. Pinter dan bodoh, kaya dan miskin, bahkan pemberani dan pengecut, dan masih banyak lagi. Biasanya orang bodoh menutupi kebodohannya dengan banyak bicara. Itu juga dalam rangka pencitraan. Akhirnya muncullah peribahasa, "Tong kosong nyaring bunyinya" atau "Air beriak tanda tak dalam".
Jadi pencitraan ini ternyata juga pilihan. Anda mau mencitrakan diri seperti apa, yang penting tahu diri saja, it's OK. Tahu diri itu maksudnya ya harus bisa mengendalikan diri. Melihat potret diri seobyektif mungkin. Sesuai fakta yang ada. Jangan mengada-ada. Jangan juga biar kelihatan kaya dia punya hutang di mana-mana demi menjaga penampilannya. Akhirnya tersiksa karena debt kolektor setiap hari datang ke rumah, ke kantor, bahkan ke rumah mertua juga dibuntuti.
Apa nggak celaka itu namanya?
Begitu pula pak Gubernur DKI Jokowi yang banyak dinilai melakukan pencitraan diri dengan kegiatan-kegiatan pemerintahannya yang kontroversial.
Pencitraan adalah suatu upaya pembentukan opini publik sesuai dengan harapan pihak yang melakukan pencitraan tersebut. Pencitraan, tentunya berupa upaya-upaya yang ditujukan untuk mencari nama baik, mengharumkan nama, mengambil hati masyarakat umum dengan tujuan tertentu. Ya dalam hal ini untuk mempertahankan kekuasaannya.
Pencitraan tidak selamanya harus dinilai negatif. Karena sebenarnya pencitraan itu sendiri menurut saya justru merupakan sebuah upaya positif. Akan dinilai negatif jika memang ada kesenjangan yang mencolok antara kenyataan sebelumnya dengan upaya pencitraan itu sendiri. Misalnya saja, contoh mudah yang sering terjadi di kampung saya dulu adalah: seorang bekas pencuri yang mendadak berubah jadi ustad. Kelihatan banget jadi ustadnya setengah hati, habis itu nggak lama, balik lagi jadi pencuri.
Saya tidak jarang melakukan pencitraan. Kepada siapapun. Termasuk kepada anak saya yang baru belajar bicara. Dia selalu mengatakan bahwa dirinya itu cantik, seperti kakaknya dan juga ibunya. Sedangkan bapak itu ganteng. Kadang dia juga sering bercerita kepada orang-orang, baik tetangga maupun teman-teman saya, bahwa bapaknya ganteng. Memang keluguannya bisa membikin saya tersipu malu. Tapi tentu jauh lebih memalukan kalau sampai dia bilang bapaknya jelek.
Jelas dia belum tahu apa itu ganteng, apa itu cantik. Yang dia tahu kalau perempuan cantik itu yang rambutnya panjang, memakai rok panjang mengembang berwarna pink, nggak jauh-jauh dari bayangannya tentang boneka Barbie kesayangannya. Sedangkan pria ganteng itu yang seperti bapaknya. Saya pernah menunjukkan padanya foto Attalarik Syach dan mencoba bertanya "Dia sama bapak gantengan mana?"
"Gantengan Bapak!" katanya.
Apalagi kalau saya tunjukin fotonya Johnny Depp yang berdandan ala begundal Karibia, jelas dia akan dengan tegas menunjuk bapaknya yang lebih ganteng. Padahal sama-sama berkumis, loh?
Itu semua karena pencitraan.
Saya sedang berusaha memahami bahwa pencitraan itu perlu. Tak peduli kata orang. Yang penting nggak berlebihan saja sih.
Lain halnya dengan mencari sensasi. Mencari sensasi ini misalnya seorang penyanyi dangdut yang tidak begitu terkenal, tiba-tiba pasang tatoo di pantat, lalu mengenakan bikini seksi di pantai. Pasang badan agar dibidik oleh paparazzi sehingga menjadi topik hangat di media gosip. Atau kalau nggak dia memakai pakaian yang super nyleneh, bukan hanya mempertontonkan payudara tapi juga membuat heboh dengan mengenakan beha dari kulit durian.
Terakhir, pencitraan juga terkait dengan profesionalisme. Saya tidak pernah tahu sebelumnya kalau guru Bahasa Inggris saya dulu ternyata berasal dari keluarga tak mampu. Dia menjadi tulang punggung keluarganya menjadi guru tidak tetap. Bahkan untuk seorang Ibu Guru yang tampil elegan seperti itu ternyata memiliki adik kandung yang cacat mental. Sampai akhirnya, ketika guru wali kelas saya berbicara dalam rangka memotivasi anak didiknya, dia mengambil beberapa contoh suri teladan yang patut diacungi jempol. Salah satunya adalah ibu guru Bahasa Inggris tersebut.
Tapi jujur. Dalam prakteknya, pencitraan itu tidaklah mudah. Saya kadang merasa capek kalau harus terus-menerus melakukan pencitraan. Banyak orang kadang lebih suka tampil apa adanya. Kadang-kadang saya juga merasa lebih enak jadi orang apa adanya. Disinilah saya sering bingung, harus mengambil peran yang mana. Menjadi orang yang sok ganteng tapi nyatanya jelek, atau jadi orang jelek yang ngaku ganteng biar diketawain orang. Yang terakhir ini contohnya mudah saja. Siapa yang gak kenal Tukul Arwana?
Yang bijaksana sajalah, yang saya maksud bukan soal ganteng dan jelek saja. Pinter dan bodoh, kaya dan miskin, bahkan pemberani dan pengecut, dan masih banyak lagi. Biasanya orang bodoh menutupi kebodohannya dengan banyak bicara. Itu juga dalam rangka pencitraan. Akhirnya muncullah peribahasa, "Tong kosong nyaring bunyinya" atau "Air beriak tanda tak dalam".
Jadi pencitraan ini ternyata juga pilihan. Anda mau mencitrakan diri seperti apa, yang penting tahu diri saja, it's OK. Tahu diri itu maksudnya ya harus bisa mengendalikan diri. Melihat potret diri seobyektif mungkin. Sesuai fakta yang ada. Jangan mengada-ada. Jangan juga biar kelihatan kaya dia punya hutang di mana-mana demi menjaga penampilannya. Akhirnya tersiksa karena debt kolektor setiap hari datang ke rumah, ke kantor, bahkan ke rumah mertua juga dibuntuti.
Apa nggak celaka itu namanya?
0 komentar:
Posting Komentar