Siapapun orangnya kalau sakit itu pasti bilangnya tidak enak, ya? Mana ada sakit yang enak? Ya kalau dicari-cari mungkin akan ada juga sakit yang enak. Tapi saya yakin pasti kebanyakan orang setuju kalau sakit itu nggak enak.

Jangankan sakit, gangguan kesehatan sedikit saja mungkin sudah terasa begitu menyiksa. Lho apa bedanya? Ya beda. Hampir sama sih, tapi mungkin lebih ke gradasi yang lebih ringan. Kalau sakit itu identik dengan nyeri, gangguan kesehatan bisa saja cuman gatal-gatal, perih, panas dan sebagainya.

Khusus gatal, ini agak unik sedikit karena tidak semua bentuk gatal adalah gangguan kesehatan. Mungkin karena sensasinya memerlukan garukan atau gosokan, maka sensasi rasa itu disebut gatal, atau gatel. Dengan kata lain, gatal itu merupakan sensasi yang perlu digaruk. Maka, ya tergantung tempatnya, kalau gatalnya di tempat yang mudah dijangkau kita bisa garuk sendiri. Kalau tidak, terpaksa butuh pertolongan orang lain.

Paling susah kalau gatalnya itu terjadi pada area yang dalem-dalem. Mungkin kita butuh semacam tongkat atau bahkan galah untuk menggaruknya. Walaupun kadang tidak semua bentuk gatal itu harus digaruk secara kasar seperti itu. Apalagi gatal yang terjadi di wilayah yang dalem-dalem itu sebaiknya cukup dielus-elus atau dibelai-belai dengan sesuatu yang hangat dan basah.

Capek, jemu, dan bete melanda. Tak ada lagi gairah untuk melakukan sesuatupun. Semuanya begitu flat dan tidak ada yang berbeda maupun baru. Ingin rasanya menyandarkan diri untuk sekedar berlabuh melepaskan semua rasa. Tapi ke mana?!

Malam begitu panjang, detik jam dinding menghitung, membawaku berangan-angan betapa malam ini dipenuhi desah penuh cinta. Banyak pasangan yang tengah asyik masyuk dan larut tenggelam melepaskan segala kerinduan. Ooohhh!!!

Asyiknya bila bisa saling bersandar sambil membisikkan kata cinta. Menyatukan hati dan bercinta tiada henti. Hmmmhhh!!!

Aku masih suka cemburu kepada pantai. Ketika ombak datang membelai bebatuan di tepian. Riak yang basah itu terpercik menjadi tempias-tempias yang hangat. Seperti para bidadari yang turun ke bumi.

Bahkan alampun tak memberiku waktu untuk berguru, berbagi inti untuk sekedar pelarut kesedihan. Kalaupun ada kepedihan, hanyalah aku tahan saja semampuku sambil menyalakan api unggun. Semoga hujan tidak mengacaukan acaraku dengan kebekuan dingin yang selalu merenggut keleluasaan.

Aku masih lelaki yang dulu. Lelaki biasa yang juga harus bersandar sambil membisikkan kata cinta. Aku tidak sanggup berdoa untuk hal-hal seperti ini. Karenanya aku juga tidak pernah meminta. Aku malu. Aku tidak menjiwai peminta-minta yang selalu mengharap dibelaskasihani. Bukannya harus saling mengerti?

Baru-baru ini saya sering mendengar istilah ini. Terkait dengan pemberitaan di jagat maya bahwa pak Presiden SBY sedang menerima penghargaan kenegarawanan dari sebuah yayasan antaragama AS, yang dinilai oleh sebagian kalangan hanyalah sebuah pencitraan.

Begitu pula pak Gubernur DKI Jokowi yang banyak dinilai melakukan pencitraan diri dengan kegiatan-kegiatan pemerintahannya yang kontroversial.

Pencitraan adalah suatu upaya pembentukan opini publik sesuai dengan harapan pihak yang melakukan pencitraan tersebut. Pencitraan, tentunya berupa upaya-upaya yang ditujukan untuk mencari nama baik, mengharumkan nama, mengambil hati masyarakat umum dengan tujuan tertentu. Ya dalam hal ini untuk mempertahankan kekuasaannya.

Pencitraan tidak selamanya harus dinilai negatif. Karena sebenarnya pencitraan itu sendiri menurut saya justru merupakan sebuah upaya positif. Akan dinilai negatif jika memang ada kesenjangan yang mencolok antara kenyataan sebelumnya dengan upaya pencitraan itu sendiri. Misalnya saja, contoh mudah yang sering terjadi di kampung saya dulu adalah: seorang bekas pencuri yang mendadak berubah jadi ustad. Kelihatan banget jadi ustadnya setengah hati, habis itu nggak lama, balik lagi jadi pencuri.

Saya tidak jarang melakukan pencitraan. Kepada siapapun. Termasuk kepada anak saya yang baru belajar bicara. Dia selalu mengatakan bahwa dirinya itu cantik, seperti kakaknya dan juga ibunya. Sedangkan bapak itu ganteng. Kadang dia juga sering bercerita kepada orang-orang, baik tetangga maupun teman-teman saya, bahwa bapaknya ganteng. Memang keluguannya bisa membikin saya tersipu malu. Tapi tentu jauh lebih memalukan kalau sampai dia bilang bapaknya jelek.