Rintik hujan masih enggan berhenti. Walau tidak terlalu deras, namun cucuran air yang mengalir di kaca depan masih berlimpah, yang sesekali tersibak ke samping oleh wiper yang sengaja kuputar pelan. Waktu menunjukkan pukul 23.15. Mata sudah hampir mengantuk, tapi jarak menuju rumah masih sekitar lima kilometer lagi. Jalanan sudah agak lengang namun dinginnya malam seakan membekukan laju yang kupaksakan.
Sebilah cahaya petir membelah langit. Vertikal. Begitu terang hingga menyilaukan mata. Walau hanya sekejap, sebagian awan yang terpapar cahaya itu tampak terlihat jelas sekali. Seperti sayap-sayap malaikat yang hendak turun ke bumi. Andaikan saja bidadari memang sedang diutus untukku... Ah, pikiranku selalu mengacau.
Rupanya aku sudah mulai berhalusinasi. Walaupun mungkin saja itu hanya sebuah fatamorgana, tapi aku tak mau ambil risiko. Kuputuskan untuk menepi, barangkali ada yang bisa mengurangi beratnya rasa kantuk yang kian membebani pelupuk. Kulihat sehampar sawah terbentang di sisi kiri, gelap tanpa kunang-kunang.
Kumatikan mesin, juga semua lampu dan wiper. Meluruskan sandaran, lalu terlentang. Menatap runtuhan air hujan yang terus konsisten dengan iramanya mengguyur bumi. Mata mencoba terkatup, hingga gelap tampak menyerupai warna langit di sebalik hujan. Alunan saxophone dari Kenny G pun mengiringi.
Kilat sekali lagi terjadi, membelah langit malam di tempat yang sama. Seperti sebelumnya, kilauan cahaya itu tidak disertai bentakan halintar. Namun sayap-sayap yang kulihat sebelumnya nampak sudah lebih rendah kedudukannya. Mungkin memang seperti yang kukira, bidadari itu telah mendarat.
Ada yang mengetuk pintu. Mungkin ada petugas yang hendak menilangku, atau sekedar melarangku berhenti di pinggir jalan seperti ini. Mata masih malas untuk terbuka. Mungkin pejalan kaki yang mau minta tumpangan, atau hanya hanya orang jalanan yang minta belas kasihan. Semoga saja bukan perampok atau penjahat. Bisa gawat! Yang pasti di tengah malam buta dan hujan begini, seseorang pasti sedang dalam keadaan butuh bantuan. Ini mulai serius. Melek! Tetapi ternyata tidak ada seorangpun di sekeliling. Oh, mungkin hanya biji-bijian yang jatuh dari pohon mengenai kap, atau butiran es yang biasa terjadi waktu cuaca ekstrim begini. Akupun kembali mengatupkan kelopak mata yang semakin berat ini.
“Selamat malam, Sayang!”
Bisikan asing itu menyeruak masuk begitu saja ke dalam rongga telingaku. Stereo! Jernih, seperti ketika sedang memakai headset dan memutar lagu mendayu. Suara perempuan. Siapakah gerangan?
Makhluk itu bertengger di atas kap mesin. Menghinggapkan tangan di kaca depan dan membentangkan sayap-sayapnya yang putih bersih seperti awan. Cantik, sebuah ciptaan yang belum pernah kulihat sebelumnya. Aku terpesona. Diapun memberiku isyarat untuk turun.
Hujan sudah berhenti. Aku tidak lagi melihat hamparan sawah tempat aku menepi. Ini sebuah kota besar. Yang pasti bukan Jakarta. Jauh lebih dari itu. Semacam pemandangan di Kota Seattle, Amerika Serikat; Toronto, Kanada atau setidaknya seperti di Hongkong. Toh saya juga tidak pernah melihat kota itu semua. Saya hanya pernah melihat fotonya di Google Image. Mengenaskan!
Mimpiku kali ini memang kelewat imajinatif. Tapi aku bahagia. Rasa penasaranpun begitu besar, ingin tahu bagaimana ending dari kisah ini.
“Ngomong-ngomong saya mau diajak kemana, Mbak?” akupun bertanya. Walaupun agak aneh menggunakan panggilan itu. Panggilan yang secara khusus merupakan panggilan untuk perempuan Jawa, Indonesia. Yang pasti masih makhluk penghuni bumi. Tapi karena dia juga belum memperkenalkan namanya, maka panggilan itupun latah begitu saja walaupun terkesan aneh untuk makhluk seaneh dia.
Dianya hanya tersenyum, menatapku dari sudut matanya sebentar, lalu meneruskan langkahnya.
Sambil mengikutinya, aku mulai berimajinasi lagi. Seperti biasa, pikiranku selalu kacau. Yang pertama kupikirkan adalah pasti bidadari ini mau mengajakku bercinta di sebuah hotel di kota itu. Akupun horny. Tapi tidak lama, karena aku langsung menyadari bahwa dia nggak mungkin banget melakukan itu. Penampilannya seperti putri paling bermartabat yang pernah kulihat. Apalagi dia makhluk langit yang nampak indah dan suci, walaupun memang terkesan seksi. Lagian aku mestinya tahu diri donk! Aku kan juga harus menjaga diri. Biarpun sebagai makhluk bumi yang berasal dari ndeso, bagian paling kumuh di bumi ini, saya tetap harus menjunjung tinggi nilai-nilai norma, terutama yang menyangkut norma etika dan kesusilaan. Setidaknya aku pernah diajari seperti itu.
Kami berhenti di sebuah ruangan yang cukup luas. Aku nggak tahu itu ruangan atau hanya sekedar hamparan yang berbatas tirai-tirai besar yang bermandikan cahaya. Dia menunjukkanku sebuah layar yang sangat lebar. Layar yang semula tersorot oleh beberapa berkas cahaya, lalu berubah menjadi semacam gambar-gambar bergerak. Rupanya aku sedang diajak nonton layar tancep, atau semacam bioskop bertekhnologi tinggi. Maklum, orang udik, tidak pernah melihat yang begituan.
Tidak ada judul, tidak ada subtitle. Juga tidak ada nama-nama pemeran dalam film itu. Totally, tidak ada tulisan. Hanya gambar bergerak dan suara musik stereo yang menyeruak masuk kedalam kedua telinga tanpa headset. Aku belum pernah menyaksikan pertunjukan tekhnologi seperti itu sebelumnya.
Banyak kisah yang dituturkan, aku tidak mengingatnya lagi. Bahkan banyak pula kisah-kisah yang luput dari perhatianku. Seperti pengemis yang kutemui kemarin pagi, aku belum sempat memberi apa-apa, atau kasarnya, aku mengacuhkannya. Tiba-tiba dia nongol menjadi salah satu tokoh dalam pertunjukan malam itu. Juga tentang saudara-saudaraku yang jauh, mulai paman dari ibu, paman dari bapak, anak-anaknya, cucunya, serta seabreg tokoh yang terdiri dari orang-orang terdekat dalam hubungan darah, walau tak kukenal. Katanya mereka adalah orang-orang yang dekat denganku dalam hubungan darah, namun jauh dalam keterlibatan urusan hidup denganku.
Salah satu cerita yang kuingat adalah kisah yang membuatku deja vu:
Gadis itu, aku lupa namanya. Aku main ke rumahnya. Ngobrol kesana kemari.
“Kok aku nggak dikasih minum, sih? Sumurmu kering ya?” sindirku.
“Eh, iya sori! Mau minum apa?” tanyanya setelah terbahak-bahak, menyadari tamunya sudah hampir dehidrasi.
“Terserah deh, susu kalau ada?”
“Nggak ada!” tegasnya.
“Masa’ nggak ada? Nggak mungkin, lah!”
Dahinya mengernyit sebentar, seperti mau melemparku dengan sebongkah bantal kursi, lalu berdiri.
“Oke, aku perahin dulu di belakang, ya?” timpalnya.
Lama menunggu, bengong sendirian. Akupun berdiri. Mencoba melihat-lihat keluar jendela. Sepasang anak berlarian mengejar layang-layang putus tali. Pandangan mereka ke atas, hampir menabrak gerobak pedagang bakso yang lewat. Tampak tukang bakso kemudian marah-marah dambil mengacungkan tinju kepada anak-anak itu.
Gadis itupun keluar dengan segelas minuman di atas nampan. Warnanya putih agak jernih. Mungkin sirup leci. Lalu diletakkannya di meja di depanku.
“Kamu beneran memerah susu di belakang? Susunya siapa? Kok encer banget?” tanyaku sambil memperhatikan gelas di depanku.
“Sudah, jangan tanya macem-macem! Cepetan diminum!”
Akupun segera meneguknya.
“Kok rasanya kecut, sih? Kamu belum mandi, ya?”
Akhirnya bongkahan bantal itupun jadi mendarat juga di mukaku.
Sebilah cahaya petir membelah langit. Vertikal. Begitu terang hingga menyilaukan mata. Walau hanya sekejap, sebagian awan yang terpapar cahaya itu tampak terlihat jelas sekali. Seperti sayap-sayap malaikat yang hendak turun ke bumi. Andaikan saja bidadari memang sedang diutus untukku... Ah, pikiranku selalu mengacau.
Rupanya aku sudah mulai berhalusinasi. Walaupun mungkin saja itu hanya sebuah fatamorgana, tapi aku tak mau ambil risiko. Kuputuskan untuk menepi, barangkali ada yang bisa mengurangi beratnya rasa kantuk yang kian membebani pelupuk. Kulihat sehampar sawah terbentang di sisi kiri, gelap tanpa kunang-kunang.
Kumatikan mesin, juga semua lampu dan wiper. Meluruskan sandaran, lalu terlentang. Menatap runtuhan air hujan yang terus konsisten dengan iramanya mengguyur bumi. Mata mencoba terkatup, hingga gelap tampak menyerupai warna langit di sebalik hujan. Alunan saxophone dari Kenny G pun mengiringi.
Kilat sekali lagi terjadi, membelah langit malam di tempat yang sama. Seperti sebelumnya, kilauan cahaya itu tidak disertai bentakan halintar. Namun sayap-sayap yang kulihat sebelumnya nampak sudah lebih rendah kedudukannya. Mungkin memang seperti yang kukira, bidadari itu telah mendarat.
Ada yang mengetuk pintu. Mungkin ada petugas yang hendak menilangku, atau sekedar melarangku berhenti di pinggir jalan seperti ini. Mata masih malas untuk terbuka. Mungkin pejalan kaki yang mau minta tumpangan, atau hanya hanya orang jalanan yang minta belas kasihan. Semoga saja bukan perampok atau penjahat. Bisa gawat! Yang pasti di tengah malam buta dan hujan begini, seseorang pasti sedang dalam keadaan butuh bantuan. Ini mulai serius. Melek! Tetapi ternyata tidak ada seorangpun di sekeliling. Oh, mungkin hanya biji-bijian yang jatuh dari pohon mengenai kap, atau butiran es yang biasa terjadi waktu cuaca ekstrim begini. Akupun kembali mengatupkan kelopak mata yang semakin berat ini.
“Selamat malam, Sayang!”
Bisikan asing itu menyeruak masuk begitu saja ke dalam rongga telingaku. Stereo! Jernih, seperti ketika sedang memakai headset dan memutar lagu mendayu. Suara perempuan. Siapakah gerangan?
Makhluk itu bertengger di atas kap mesin. Menghinggapkan tangan di kaca depan dan membentangkan sayap-sayapnya yang putih bersih seperti awan. Cantik, sebuah ciptaan yang belum pernah kulihat sebelumnya. Aku terpesona. Diapun memberiku isyarat untuk turun.
Hujan sudah berhenti. Aku tidak lagi melihat hamparan sawah tempat aku menepi. Ini sebuah kota besar. Yang pasti bukan Jakarta. Jauh lebih dari itu. Semacam pemandangan di Kota Seattle, Amerika Serikat; Toronto, Kanada atau setidaknya seperti di Hongkong. Toh saya juga tidak pernah melihat kota itu semua. Saya hanya pernah melihat fotonya di Google Image. Mengenaskan!
Mimpiku kali ini memang kelewat imajinatif. Tapi aku bahagia. Rasa penasaranpun begitu besar, ingin tahu bagaimana ending dari kisah ini.
“Ngomong-ngomong saya mau diajak kemana, Mbak?” akupun bertanya. Walaupun agak aneh menggunakan panggilan itu. Panggilan yang secara khusus merupakan panggilan untuk perempuan Jawa, Indonesia. Yang pasti masih makhluk penghuni bumi. Tapi karena dia juga belum memperkenalkan namanya, maka panggilan itupun latah begitu saja walaupun terkesan aneh untuk makhluk seaneh dia.
Dianya hanya tersenyum, menatapku dari sudut matanya sebentar, lalu meneruskan langkahnya.
Sambil mengikutinya, aku mulai berimajinasi lagi. Seperti biasa, pikiranku selalu kacau. Yang pertama kupikirkan adalah pasti bidadari ini mau mengajakku bercinta di sebuah hotel di kota itu. Akupun horny. Tapi tidak lama, karena aku langsung menyadari bahwa dia nggak mungkin banget melakukan itu. Penampilannya seperti putri paling bermartabat yang pernah kulihat. Apalagi dia makhluk langit yang nampak indah dan suci, walaupun memang terkesan seksi. Lagian aku mestinya tahu diri donk! Aku kan juga harus menjaga diri. Biarpun sebagai makhluk bumi yang berasal dari ndeso, bagian paling kumuh di bumi ini, saya tetap harus menjunjung tinggi nilai-nilai norma, terutama yang menyangkut norma etika dan kesusilaan. Setidaknya aku pernah diajari seperti itu.
Kami berhenti di sebuah ruangan yang cukup luas. Aku nggak tahu itu ruangan atau hanya sekedar hamparan yang berbatas tirai-tirai besar yang bermandikan cahaya. Dia menunjukkanku sebuah layar yang sangat lebar. Layar yang semula tersorot oleh beberapa berkas cahaya, lalu berubah menjadi semacam gambar-gambar bergerak. Rupanya aku sedang diajak nonton layar tancep, atau semacam bioskop bertekhnologi tinggi. Maklum, orang udik, tidak pernah melihat yang begituan.
Tidak ada judul, tidak ada subtitle. Juga tidak ada nama-nama pemeran dalam film itu. Totally, tidak ada tulisan. Hanya gambar bergerak dan suara musik stereo yang menyeruak masuk kedalam kedua telinga tanpa headset. Aku belum pernah menyaksikan pertunjukan tekhnologi seperti itu sebelumnya.
Banyak kisah yang dituturkan, aku tidak mengingatnya lagi. Bahkan banyak pula kisah-kisah yang luput dari perhatianku. Seperti pengemis yang kutemui kemarin pagi, aku belum sempat memberi apa-apa, atau kasarnya, aku mengacuhkannya. Tiba-tiba dia nongol menjadi salah satu tokoh dalam pertunjukan malam itu. Juga tentang saudara-saudaraku yang jauh, mulai paman dari ibu, paman dari bapak, anak-anaknya, cucunya, serta seabreg tokoh yang terdiri dari orang-orang terdekat dalam hubungan darah, walau tak kukenal. Katanya mereka adalah orang-orang yang dekat denganku dalam hubungan darah, namun jauh dalam keterlibatan urusan hidup denganku.
Salah satu cerita yang kuingat adalah kisah yang membuatku deja vu:
Gadis itu, aku lupa namanya. Aku main ke rumahnya. Ngobrol kesana kemari.
“Kok aku nggak dikasih minum, sih? Sumurmu kering ya?” sindirku.
“Eh, iya sori! Mau minum apa?” tanyanya setelah terbahak-bahak, menyadari tamunya sudah hampir dehidrasi.
“Terserah deh, susu kalau ada?”
“Nggak ada!” tegasnya.
“Masa’ nggak ada? Nggak mungkin, lah!”
Dahinya mengernyit sebentar, seperti mau melemparku dengan sebongkah bantal kursi, lalu berdiri.
“Oke, aku perahin dulu di belakang, ya?” timpalnya.
Lama menunggu, bengong sendirian. Akupun berdiri. Mencoba melihat-lihat keluar jendela. Sepasang anak berlarian mengejar layang-layang putus tali. Pandangan mereka ke atas, hampir menabrak gerobak pedagang bakso yang lewat. Tampak tukang bakso kemudian marah-marah dambil mengacungkan tinju kepada anak-anak itu.
Gadis itupun keluar dengan segelas minuman di atas nampan. Warnanya putih agak jernih. Mungkin sirup leci. Lalu diletakkannya di meja di depanku.
“Kamu beneran memerah susu di belakang? Susunya siapa? Kok encer banget?” tanyaku sambil memperhatikan gelas di depanku.
“Sudah, jangan tanya macem-macem! Cepetan diminum!”
Akupun segera meneguknya.
“Kok rasanya kecut, sih? Kamu belum mandi, ya?”
Akhirnya bongkahan bantal itupun jadi mendarat juga di mukaku.
0 komentar:
Posting Komentar