"Kalau Gue Miskin, Masalah Buat Lo?" Begitu rencananya judul tulisan ini. Tapi kesannya kok merendahkan diri banget? Padahal rendah diri tanda tak mampu! Jadi gimanaa... gitu! Seperti orang yang tidak bisa bersyukur. Daripada Tuhan marah, jadi judulnya dibikin yang sebaliknya saja. Suka-suka gue, kan? Tulisan, tulisan gue!
Itulah sekelumit tentang konflik batin selama penulisan judul yang sebenarnya nggak penting banget. Nggak penting kok masih dimuat juga? Ya sebenarnya diantara yang nggak penting itu terdapat hal-hal penting. Sesuatu bisa dianggap penting karena ada hal yang tidak penting, kan? Nah, biar tambah pusing deh!
Okay, to the point nih. Kaya dan miskin itu menurut saya kok relatif. Tidak ada nilai mutlak untuk keduanya. Barangkali orang miskin yang mendekati mutlak itu orang yang tidak punya apapun. Hidup sebatang kara, tak punya harta, bahkan telanjang bulat karena tak ada sehelai benangpun yang bisa dia kenakan sebagai pakaian. Jadi kalau dilihat, orang miskin yang mendekati mutlak itu tampak seksi! Mau lihat contohnya? Mari kita lihat "si Orang Miskin" yang satu ini:
Bahkan pula, dia mungkin tak punya jiwa. Hanya raga yang menerawang hampa tanpa makna. Tapi entahlah. Sulit menemukan nilai absolut dari kondisi suatu kemiskinan, apalagi kekayaan. Ada rentang yang jauh antara kemiskinan dan kekayaan. Tinggal menempatkan diri di mana kita berada.
Jadi kaya dan miskin itu hanya tinggal permainan rasa. Hal itu sangat mempengaruhi pikiran kita. Perasaan dan pikiran itu sesuatu yang berbeda tapi berkaitan erat. Kalau kita merasa miskin, kita mungkin resah. Kalau kita merasa kaya, kitapun bahagia. Nah, pikiran kita akan senantiasa positif apabila kita bahagia karena merasa sudah kaya. Sebaliknya kalau kita masih merasa miskin, pikiran kita kacau, khawatir, resah, cemas, galau, pokoknya nggak bahagia deh! Kalau kita sudah terbiasa melihat segala sesuatu dari sisi positif, kita tentu sudah biasa merasa kaya sekarang.
Kenyataannya, posisi kita ini selalu diantara kaya dan miskin. Kadang fluktuatif. Sekarang miskin, siapa tahu besok kaya. Sekarang bokek, siapa tahu besok tokek...eh, beruang! Apapun kondisi kita saat ini, apa adanya kita sekarang, itulah yang harus disyukuri.
Jadi semelarat apapun kita, kalau kita merasa kaya, kita tak perlu meresahkan lagi kondisi kemelaratan itu. Kita hanya perlu yakin bahwa Tuhan tidak akan sekejam itu. Buktinya, semua jenis binatang ciptaannya tak ada yang merasa resah walaupun dia melarat bukan kepalang. Hanya karena manusia dianugerahi perasaan, maka kitapun merasa sedih tatkala cobaan menghimpit. Itu kan wajar, tinggal bagaimana pinternya kita mengelola perasaan agar himpitan itu dijadikan tantangan untuk tetap bersemangat dalam meraih harapan.
Kaya, tapi tak berharta. Dalam falsafah Jawa dibilang, "Sugih tanpa bandha." Hal ini memang bisa berlaku. Tapi kalau nggak percaya, ya sudah. Saya nggak maksa! Saya hanya mengajak diri saya sendiri untuk tetap bahagia, meskipun sekarang lagi tanggal tua!
Itulah sekelumit tentang konflik batin selama penulisan judul yang sebenarnya nggak penting banget. Nggak penting kok masih dimuat juga? Ya sebenarnya diantara yang nggak penting itu terdapat hal-hal penting. Sesuatu bisa dianggap penting karena ada hal yang tidak penting, kan? Nah, biar tambah pusing deh!
Okay, to the point nih. Kaya dan miskin itu menurut saya kok relatif. Tidak ada nilai mutlak untuk keduanya. Barangkali orang miskin yang mendekati mutlak itu orang yang tidak punya apapun. Hidup sebatang kara, tak punya harta, bahkan telanjang bulat karena tak ada sehelai benangpun yang bisa dia kenakan sebagai pakaian. Jadi kalau dilihat, orang miskin yang mendekati mutlak itu tampak seksi! Mau lihat contohnya? Mari kita lihat "si Orang Miskin" yang satu ini:
Gambaran orang miskin: tak punya apapun untuk dikenakan (Lukisan karya William Adolphe Bouguereau, tahun 1884) |
Bahkan pula, dia mungkin tak punya jiwa. Hanya raga yang menerawang hampa tanpa makna. Tapi entahlah. Sulit menemukan nilai absolut dari kondisi suatu kemiskinan, apalagi kekayaan. Ada rentang yang jauh antara kemiskinan dan kekayaan. Tinggal menempatkan diri di mana kita berada.
Jadi kaya dan miskin itu hanya tinggal permainan rasa. Hal itu sangat mempengaruhi pikiran kita. Perasaan dan pikiran itu sesuatu yang berbeda tapi berkaitan erat. Kalau kita merasa miskin, kita mungkin resah. Kalau kita merasa kaya, kitapun bahagia. Nah, pikiran kita akan senantiasa positif apabila kita bahagia karena merasa sudah kaya. Sebaliknya kalau kita masih merasa miskin, pikiran kita kacau, khawatir, resah, cemas, galau, pokoknya nggak bahagia deh! Kalau kita sudah terbiasa melihat segala sesuatu dari sisi positif, kita tentu sudah biasa merasa kaya sekarang.
Kenyataannya, posisi kita ini selalu diantara kaya dan miskin. Kadang fluktuatif. Sekarang miskin, siapa tahu besok kaya. Sekarang bokek, siapa tahu besok tokek...eh, beruang! Apapun kondisi kita saat ini, apa adanya kita sekarang, itulah yang harus disyukuri.
Jadi semelarat apapun kita, kalau kita merasa kaya, kita tak perlu meresahkan lagi kondisi kemelaratan itu. Kita hanya perlu yakin bahwa Tuhan tidak akan sekejam itu. Buktinya, semua jenis binatang ciptaannya tak ada yang merasa resah walaupun dia melarat bukan kepalang. Hanya karena manusia dianugerahi perasaan, maka kitapun merasa sedih tatkala cobaan menghimpit. Itu kan wajar, tinggal bagaimana pinternya kita mengelola perasaan agar himpitan itu dijadikan tantangan untuk tetap bersemangat dalam meraih harapan.
Kaya, tapi tak berharta. Dalam falsafah Jawa dibilang, "Sugih tanpa bandha." Hal ini memang bisa berlaku. Tapi kalau nggak percaya, ya sudah. Saya nggak maksa! Saya hanya mengajak diri saya sendiri untuk tetap bahagia, meskipun sekarang lagi tanggal tua!
0 komentar:
Posting Komentar