Akhirnya saya mengakui kalau saya memang lagi "kurang kerjaan". Mikirin hal-hal yang nggak penting, itu ternyata menjadi hobi saya sejak lama. Saya juga baru menyadari hal ini.
Saya merasa otak saya ini tidak pernah berhenti berpikir. Dia terus berpikir sepanjang waktu, kecuali mungkin ketika sedang tidur dia baru berhenti berpikir dan beralih ke alam mimpi.
Saya tidak tahu apakah setiap orang juga seperti saya, atau memang khusus orang-orang bego saja. Atau jangan-jangan ini salah satu ciri gangguan atau semacam bakat adanya gangguan berpikir. ABG kali? (Ada Bakat Gila)@*#:-(
Namun berhubung orang-orang di sekitar saya menganggap saya normal, atau setidaknya masih dalam batas normal, ya tentunya saya percaya dan selalu menduga kalau saya memang normal. Terbukti juga saya bisa berfungsi sebagai manusia di tengah-tengah manusia lainnya. Bahkan alhamdulilah, saya masih pantas disebut "berguna" bagi orang-orang di sekitar saya, terutama keluarga dan lingkungan kerja.
Alhamdulilah juga saya tidak pernah memerlukan pemeriksaan atau kontrol ke spesialis saraf atau jiwa. Artinya, selama ini otak saya baik-baik saja. Atau jangan-jangan saya tidak punya otak? Bagaimana saya tahu? Saya sendiri belum pernah melihat otak saya. Belum pernah juga menjalani foto Rontgen ataupun CT Scan otak. Hanya lantaran saya bisa berpikir, maka kesimpulannya saya punya otak. Tapi tetap saja saya ragu, jangan-jangan otak memang organ yang membuat kita menduga bahwa kita bisa berpikir?
Tapi semenjak saya belajar untuk bisa selalu berpikir positif, sayapun bersyukur memiliki otak yang selalu berpikir. Karena belakangan saya sering menemukan bahwa ternyata orang-orang tertentu tidak seperti saya. Beberapa orang ternyata sering mengalami kekosongan pikiran. Mereka inilah pada situasi tertentu bisa rentan "kerasukan jin", mudah terhipnotis, atau gangguan lainnya yang salah satu predisposisinya adalah kekosongan pikiran.
Meskipun otak saya suka berpikir, bukan berarti otak saya hebat. Terbukti dari dulu saya begini-begini saja. Terlalu banyak orang yang otaknya lebih hebat dari saya. Atau mungkin karena saya terlalu malas sehingga segala pemikiran itu hanya sekedar pemikiran hampa yang tidak berguna, semacam memikirkan persoalan telur dan ayam ini. Tetapi bisa juga karena pemikiran saya terlalu jauh, sehingga fisik saya tidak mampu menjangkau segala hal yang ada di angan-angan.
Sayapun enggan memikirkan hal-hal yang terlalu serius atau detil. Bahkan saya membenci permainan catur, sebuah permainan yang sarat pemikiran dan strategi itu. Apalagi kalau harus berdebat, saya paling benci itu. Kadang melihat atau mendengar perdebatanpun saya tak sanggup.
Suatu ketika saya sedang menonton televisi. Acaranya sedang menyiarkan secara langsung sebuah sidang DPR yang sarat perdebatan dan interupsi. Saya sempat mengikuti beberapa saat. Tapi ketika permasalahan yang dibahas mulai rumit, saya jadi males. Pengennya tidur. Saya nggak bakat jadi anggota DPR. Paling-paling saya hanya akan menjadi oknum yang selalu tidur saat sidang berlangsung.
Anehnya, saya betah berlama-lama di depan komputer. Mungkin komputer membuat pemikiran saya terakselerasi sedemikian jauh, membuat saya semakin keenakan dalam mengeksplorasi pemikiran. Di jaman digital sekarang ini, saya tidak lagi terlalu sering berinteraksi dengan PC atau laptop. Ada komputer tablet, bahkan smartphone jaman sekarang sudah cukup mengakselerasi pikiran dan imajinasi saya. Saya semakin "gila" dengan berhala-berhala itu.
Seperti halnya sekarang ini, saya lagi mengeksplorasi isi pikiran saya sambil mengetik melalui sebuah iPhone. Sekali lagi, saya tidak bercerita tentang hal-hal rumit. Cukuplah hal itu dilakukan di jam-jam kerja, ketika sedang menunaikan tugas sebagai pengabdi masyarakat. Sebaliknya, di saat libur akhir pekan sekarang ini saya mencoba berhenti berpikir rumit. Maka inilah yang sedang saya pikirkan: sebenarnya mana yang duluan, telur atau ayam. Hmm... Sederhana 'kan?
Walaupun binatang yang bertelur bukan hanya ayam, tapi pertanyaan ini selalu muncul dengan ayam sebagai tokoh idola. Andai ayam bisa ngomong, mungkin dia bisa cerita agar kita tahu bocorannya sedikit saja.
Ini memang sebuah pertanyaan yang membutuhkan bukan sekedar jawaban tapi juga alasan. Misalkan jawaban Anda telur, apa alasannya? Kalau ayam, apa alasannya pula. Justru alasannya inilah yang paling menarik untuk didengar. Akhirnya Andapun menemukan alasan yang paling kuat, maka itulah yang akan Anda gunakan untuk menjawab.
Malahan ada jawaban yang sebenarnya tidak menjawab. Misalnya: "Emang gue pikirin?", "Hanya Tuhan yang tahu." Atau malah berkomentar, "Gitu aja dibahas, kurang kerjaan banget!" Ya, memang bener juga sih. Pendek kata, tidak asa jawaban benar atau salah. Sah-sah saja Anda mau jawab apa.
Kalau jawabannya "telur", maka inilah beberapa alasannya:
Kan pertanyaannya "Telur atau ayam, mana yang duluan?" Jadi jawabnya telur. Kalau pertanyaan dibalik, "Ayam atau telur, mana yang duluan?" Ya jawabnya ayam.
Jelas telur donk? Kan adanya telur ayam, bukan ayam telur. Jadi telur duluan.
Nah, kalau ayam yang duluan, ini alasannya:
Ayam duluan, jadi ayam yang bertelur, bukan telur mengayam. Ya maksudnya telur tidak bisa menetas tanpa ayam. Kecuali ada mesin penetas. Tapi dalam konteks mana yang duluan ada, kita harus mengesampingkan adanya mesin penetas. Karena pada awal penciptaan telur atau ayam yang pertama kali, belum ada penetas buatan.
Dah dulu ya? Ngantuk nih!
Saya tidak tahu apakah setiap orang juga seperti saya, atau memang khusus orang-orang bego saja. Atau jangan-jangan ini salah satu ciri gangguan atau semacam bakat adanya gangguan berpikir. ABG kali? (Ada Bakat Gila)@*#:-(
Namun berhubung orang-orang di sekitar saya menganggap saya normal, atau setidaknya masih dalam batas normal, ya tentunya saya percaya dan selalu menduga kalau saya memang normal. Terbukti juga saya bisa berfungsi sebagai manusia di tengah-tengah manusia lainnya. Bahkan alhamdulilah, saya masih pantas disebut "berguna" bagi orang-orang di sekitar saya, terutama keluarga dan lingkungan kerja.
Alhamdulilah juga saya tidak pernah memerlukan pemeriksaan atau kontrol ke spesialis saraf atau jiwa. Artinya, selama ini otak saya baik-baik saja. Atau jangan-jangan saya tidak punya otak? Bagaimana saya tahu? Saya sendiri belum pernah melihat otak saya. Belum pernah juga menjalani foto Rontgen ataupun CT Scan otak. Hanya lantaran saya bisa berpikir, maka kesimpulannya saya punya otak. Tapi tetap saja saya ragu, jangan-jangan otak memang organ yang membuat kita menduga bahwa kita bisa berpikir?
Tapi semenjak saya belajar untuk bisa selalu berpikir positif, sayapun bersyukur memiliki otak yang selalu berpikir. Karena belakangan saya sering menemukan bahwa ternyata orang-orang tertentu tidak seperti saya. Beberapa orang ternyata sering mengalami kekosongan pikiran. Mereka inilah pada situasi tertentu bisa rentan "kerasukan jin", mudah terhipnotis, atau gangguan lainnya yang salah satu predisposisinya adalah kekosongan pikiran.
Meskipun otak saya suka berpikir, bukan berarti otak saya hebat. Terbukti dari dulu saya begini-begini saja. Terlalu banyak orang yang otaknya lebih hebat dari saya. Atau mungkin karena saya terlalu malas sehingga segala pemikiran itu hanya sekedar pemikiran hampa yang tidak berguna, semacam memikirkan persoalan telur dan ayam ini. Tetapi bisa juga karena pemikiran saya terlalu jauh, sehingga fisik saya tidak mampu menjangkau segala hal yang ada di angan-angan.
Sayapun enggan memikirkan hal-hal yang terlalu serius atau detil. Bahkan saya membenci permainan catur, sebuah permainan yang sarat pemikiran dan strategi itu. Apalagi kalau harus berdebat, saya paling benci itu. Kadang melihat atau mendengar perdebatanpun saya tak sanggup.
Suatu ketika saya sedang menonton televisi. Acaranya sedang menyiarkan secara langsung sebuah sidang DPR yang sarat perdebatan dan interupsi. Saya sempat mengikuti beberapa saat. Tapi ketika permasalahan yang dibahas mulai rumit, saya jadi males. Pengennya tidur. Saya nggak bakat jadi anggota DPR. Paling-paling saya hanya akan menjadi oknum yang selalu tidur saat sidang berlangsung.
Anehnya, saya betah berlama-lama di depan komputer. Mungkin komputer membuat pemikiran saya terakselerasi sedemikian jauh, membuat saya semakin keenakan dalam mengeksplorasi pemikiran. Di jaman digital sekarang ini, saya tidak lagi terlalu sering berinteraksi dengan PC atau laptop. Ada komputer tablet, bahkan smartphone jaman sekarang sudah cukup mengakselerasi pikiran dan imajinasi saya. Saya semakin "gila" dengan berhala-berhala itu.
Seperti halnya sekarang ini, saya lagi mengeksplorasi isi pikiran saya sambil mengetik melalui sebuah iPhone. Sekali lagi, saya tidak bercerita tentang hal-hal rumit. Cukuplah hal itu dilakukan di jam-jam kerja, ketika sedang menunaikan tugas sebagai pengabdi masyarakat. Sebaliknya, di saat libur akhir pekan sekarang ini saya mencoba berhenti berpikir rumit. Maka inilah yang sedang saya pikirkan: sebenarnya mana yang duluan, telur atau ayam. Hmm... Sederhana 'kan?
Walaupun binatang yang bertelur bukan hanya ayam, tapi pertanyaan ini selalu muncul dengan ayam sebagai tokoh idola. Andai ayam bisa ngomong, mungkin dia bisa cerita agar kita tahu bocorannya sedikit saja.
Ini memang sebuah pertanyaan yang membutuhkan bukan sekedar jawaban tapi juga alasan. Misalkan jawaban Anda telur, apa alasannya? Kalau ayam, apa alasannya pula. Justru alasannya inilah yang paling menarik untuk didengar. Akhirnya Andapun menemukan alasan yang paling kuat, maka itulah yang akan Anda gunakan untuk menjawab.
Malahan ada jawaban yang sebenarnya tidak menjawab. Misalnya: "Emang gue pikirin?", "Hanya Tuhan yang tahu." Atau malah berkomentar, "Gitu aja dibahas, kurang kerjaan banget!" Ya, memang bener juga sih. Pendek kata, tidak asa jawaban benar atau salah. Sah-sah saja Anda mau jawab apa.
Kalau jawabannya "telur", maka inilah beberapa alasannya:
Kan pertanyaannya "Telur atau ayam, mana yang duluan?" Jadi jawabnya telur. Kalau pertanyaan dibalik, "Ayam atau telur, mana yang duluan?" Ya jawabnya ayam.
Jelas telur donk? Kan adanya telur ayam, bukan ayam telur. Jadi telur duluan.
Nah, kalau ayam yang duluan, ini alasannya:
Ayam duluan, jadi ayam yang bertelur, bukan telur mengayam. Ya maksudnya telur tidak bisa menetas tanpa ayam. Kecuali ada mesin penetas. Tapi dalam konteks mana yang duluan ada, kita harus mengesampingkan adanya mesin penetas. Karena pada awal penciptaan telur atau ayam yang pertama kali, belum ada penetas buatan.
Dah dulu ya? Ngantuk nih!
0 komentar:
Posting Komentar