Hujan deras tiba-tiba mengguyur atap kamar yang terbuat dari seng, suaranya gempar memenuhi isi ruangan itu. Mata terbuka, ruangan masih gelap. Hanya remang-remang cahaya biru dari sound system yang masih melantumkan sisa-sisa kidung pengantar tidur semalam. Jam tangan menunjukkan pukul lima pagi. Si kecil masih terbaring manis di sampingku, sedangkan kakaknya tidur di kamar sebelah bersama ibunya.
Hari baru. Perjuangan barupun dimulai. Membuka agenda pagi itu, sederet tumpukan tugas menanti untuk diselesaikan sepanjang hari. Membiasakan diri dengan target harian memang berat. Setumpuk tugas hari itu diantaranya adalah sisa-sisa tugas kemarin yang belum terselesaikan.
Pagi itu, seperti biasa aku selalu bengong sejenak. Rasanya tidak ada aktivitas apapun yang terasa nikmat selain bengong di pagi hari setelah bangun tidur. Baru setelah sekitar setengah jam biasanya tersadar karena harus segera sholat shubuh keburu waktunya habis.
Hujanpun akhirnya berhenti. Seperti pagi-pagi sebelumnya, aktivitas di dapurpun dimulai dengan terdengarnya suara pemantik kompor gas yang dinyalakan. Kran di kamar mandi juga sudah mulai terdengar mengucurkan derasnya air, pertanda anakku juga sudah mulai bersiap menyongsong hari-harinya pergi ke sekolah.
Aku melangkah keluar rumah, sekedar menggerakkan badan sekenanya sambil menghirup udara pagi. Tanah basah, di sana-sini genangan air masih beriak oleh rinaian air hujan yang juga masih terasa menetes di kulit. Mendung masih menyelimuti pagi itu. Mataharipun tidak kuasa lagi menampakkan diri. Beberapa ekor burung mulai beterbangan, melengkapi suasana damai di pagi itu.
Anakku yang kini masih sekolah SD kelas lima itu sudah bersiap di boncengan motor ibunya. Memang selama ini ibunyalah yang selalu mengantarnya ke sekolah. Nanti giliran pulangnya, aku yang menjemputnya di sekolahan bersamaan dengan waktu istirahatku di kantor. Merekapun segera berlalu dari hadapanku. Tandanya aku juga sudah harus bersiap mandi dan pergi kerja.
***
Di meja kantor masih menumpuk sisa-sisa berkas yang kemarin malam kutinggalkan begitu saja. Sengaja tidak dirapikan karena kalau dirapikan malah membuatku bingung, sebab pekerjaan kemarin-kemarin selalu to be continued di hari-hari selanjutnya. Sengaja meninggalkan pesan juga kepada office boy agar sebatas membersihkan lantai tanpa merapikan bahkan tanpa boleh menyentuh semua berkas yang ada di atas meja. Bahkan pernah aku mengunci pintu ruang kerjaku dan membawa pulang kunci agar tak seorangpun menjamah ruangan. Bakalan ribet jadinya kalau tatanan dokumen diubah sedikit saja.
Begitulah pekerjaanku, sebagaimana pekerjaan kantoran lainnya yang bergumul dengan kertas-kertas. Pekerjaan yang jauh dari aktivitas otot. Pekerjaan yang tidak perlu banyak bicara. Pekerjaan yang mungkin justru dibenci oleh kalangan tertentu lantaran hanya duduk di kursi, mencoret-coret kertas, dan dapat uang. Di luar sana si Bapak tukang becak mati-matian menggenjot di jalan menanjak dengan otot-ototnya yang tua. Di sebelah lain, pak Tani menggarap sawah di bawah terik yang menyengat. Di pasar, pedagang berteriak-teriak menawarkan dagangannya. Di rumah sakit, dokter sedang berjuang menyelamatkan pasien yang tengah mengalami penderitaan. Masih di Rumah Sakit, di sudut lain keluarga pasien cemberut melihat para suster yang berjaga malah lebih banyak sibuk menulis buku-buku dan membuka-buka dokumen ketimbang memberi perhatian kepada anggota keluarganya yang sementara terbaring kesakitan dengan infus menancap di tangannya. Kurang lebih begitulah orang-orang mencemberuti pekerjaanku.
Tapi bagiku semua dokumen itu sangat berharga. Setiap lembar dokumen ada nilai uang yang harganya jauh melebihi harga selembar kertas itu sendiri. Walau bagi orang lain, semua itu hanyalah pekerjaan yang terlihat maya semata. Sekarang belum seberapa. Kelak, apabila semua data di atas kertas sudah dialihkan ke sistem yang serba tervalidasi secara elektronik, maka saat itu pekerjaanku benar-benar maya. Bahkan sekarangpun aku juga digaji secara maya. Aku bahkan tidak pernah menerima gaji berupa fisik uang, melainkan hanya selembar kertas bukti setoran dari sang Bendahara.
Lalu bagaimana aku menafkahi istri dan anak-anakku? Aku hanya mengirim SMS ke nomor tertentu dengan sejumlah nominal yang telah kusepakati bersama istri. Sejenak kemudian biasanya aku menerima SMS dari istriku bahwa uangnya sudah masuk. Masuk kemana? Tidak tahu. Yang diterima istriku juga hanya berupa SMS, bukan uang. Sungguh hidup yang sangat terlihat aneh, bukan? Apalagi kalau kakek dan nenekku masih ada, mereka tidak akan mampu memahami semuanya ini. Kenyataannya, sekarangpun masih banyak orang di sekelilingku yang masih saja berpikiran ala kakek dan nenekku dulu.
***
Tak terasa waktu berlalu hingga di penghujung tahun. Rasanya siklus hidupku tidak juga berubah beberapa tahun terakhir ini. Hanya siklusnya yang tidak berubah, tapi pengalaman membuatku merasa semakin kaya. Semua bukan hanya untuk sekedar sebagai penyusun kaleidoskop. Hidup semakin indah, semakin seksi! Semakin banyak yang bisa disyukuri.
Nah, sekarang apa nich resolusi kedepan?
Hari baru. Perjuangan barupun dimulai. Membuka agenda pagi itu, sederet tumpukan tugas menanti untuk diselesaikan sepanjang hari. Membiasakan diri dengan target harian memang berat. Setumpuk tugas hari itu diantaranya adalah sisa-sisa tugas kemarin yang belum terselesaikan.
Pagi itu, seperti biasa aku selalu bengong sejenak. Rasanya tidak ada aktivitas apapun yang terasa nikmat selain bengong di pagi hari setelah bangun tidur. Baru setelah sekitar setengah jam biasanya tersadar karena harus segera sholat shubuh keburu waktunya habis.
Hujanpun akhirnya berhenti. Seperti pagi-pagi sebelumnya, aktivitas di dapurpun dimulai dengan terdengarnya suara pemantik kompor gas yang dinyalakan. Kran di kamar mandi juga sudah mulai terdengar mengucurkan derasnya air, pertanda anakku juga sudah mulai bersiap menyongsong hari-harinya pergi ke sekolah.
Aku melangkah keluar rumah, sekedar menggerakkan badan sekenanya sambil menghirup udara pagi. Tanah basah, di sana-sini genangan air masih beriak oleh rinaian air hujan yang juga masih terasa menetes di kulit. Mendung masih menyelimuti pagi itu. Mataharipun tidak kuasa lagi menampakkan diri. Beberapa ekor burung mulai beterbangan, melengkapi suasana damai di pagi itu.
Anakku yang kini masih sekolah SD kelas lima itu sudah bersiap di boncengan motor ibunya. Memang selama ini ibunyalah yang selalu mengantarnya ke sekolah. Nanti giliran pulangnya, aku yang menjemputnya di sekolahan bersamaan dengan waktu istirahatku di kantor. Merekapun segera berlalu dari hadapanku. Tandanya aku juga sudah harus bersiap mandi dan pergi kerja.
***
Di meja kantor masih menumpuk sisa-sisa berkas yang kemarin malam kutinggalkan begitu saja. Sengaja tidak dirapikan karena kalau dirapikan malah membuatku bingung, sebab pekerjaan kemarin-kemarin selalu to be continued di hari-hari selanjutnya. Sengaja meninggalkan pesan juga kepada office boy agar sebatas membersihkan lantai tanpa merapikan bahkan tanpa boleh menyentuh semua berkas yang ada di atas meja. Bahkan pernah aku mengunci pintu ruang kerjaku dan membawa pulang kunci agar tak seorangpun menjamah ruangan. Bakalan ribet jadinya kalau tatanan dokumen diubah sedikit saja.
Begitulah pekerjaanku, sebagaimana pekerjaan kantoran lainnya yang bergumul dengan kertas-kertas. Pekerjaan yang jauh dari aktivitas otot. Pekerjaan yang tidak perlu banyak bicara. Pekerjaan yang mungkin justru dibenci oleh kalangan tertentu lantaran hanya duduk di kursi, mencoret-coret kertas, dan dapat uang. Di luar sana si Bapak tukang becak mati-matian menggenjot di jalan menanjak dengan otot-ototnya yang tua. Di sebelah lain, pak Tani menggarap sawah di bawah terik yang menyengat. Di pasar, pedagang berteriak-teriak menawarkan dagangannya. Di rumah sakit, dokter sedang berjuang menyelamatkan pasien yang tengah mengalami penderitaan. Masih di Rumah Sakit, di sudut lain keluarga pasien cemberut melihat para suster yang berjaga malah lebih banyak sibuk menulis buku-buku dan membuka-buka dokumen ketimbang memberi perhatian kepada anggota keluarganya yang sementara terbaring kesakitan dengan infus menancap di tangannya. Kurang lebih begitulah orang-orang mencemberuti pekerjaanku.
Tapi bagiku semua dokumen itu sangat berharga. Setiap lembar dokumen ada nilai uang yang harganya jauh melebihi harga selembar kertas itu sendiri. Walau bagi orang lain, semua itu hanyalah pekerjaan yang terlihat maya semata. Sekarang belum seberapa. Kelak, apabila semua data di atas kertas sudah dialihkan ke sistem yang serba tervalidasi secara elektronik, maka saat itu pekerjaanku benar-benar maya. Bahkan sekarangpun aku juga digaji secara maya. Aku bahkan tidak pernah menerima gaji berupa fisik uang, melainkan hanya selembar kertas bukti setoran dari sang Bendahara.
Lalu bagaimana aku menafkahi istri dan anak-anakku? Aku hanya mengirim SMS ke nomor tertentu dengan sejumlah nominal yang telah kusepakati bersama istri. Sejenak kemudian biasanya aku menerima SMS dari istriku bahwa uangnya sudah masuk. Masuk kemana? Tidak tahu. Yang diterima istriku juga hanya berupa SMS, bukan uang. Sungguh hidup yang sangat terlihat aneh, bukan? Apalagi kalau kakek dan nenekku masih ada, mereka tidak akan mampu memahami semuanya ini. Kenyataannya, sekarangpun masih banyak orang di sekelilingku yang masih saja berpikiran ala kakek dan nenekku dulu.
***
Tak terasa waktu berlalu hingga di penghujung tahun. Rasanya siklus hidupku tidak juga berubah beberapa tahun terakhir ini. Hanya siklusnya yang tidak berubah, tapi pengalaman membuatku merasa semakin kaya. Semua bukan hanya untuk sekedar sebagai penyusun kaleidoskop. Hidup semakin indah, semakin seksi! Semakin banyak yang bisa disyukuri.
Nah, sekarang apa nich resolusi kedepan?
0 komentar:
Posting Komentar