Pembicaraan tentang empat -ta (4-ta) ini memang tidak pernah membosankan. Hal ini karena memang banyak pemahaman yang berbeda dalam memandang keempatnya. Ada banyak variasi dalam meletakkan prioritas bagi 4-ta dalam hidupnya. Banyak orang memang sengaja menempatkan keempatnya sebagai tujuan hidup.
Sebagian ada yang beranggapan bahwa harta dan tahta adalah segalanya. Alat ukur kesuksesan seseorang dinilai dari seberapa besar rumahnya, berapa banyak mobilnya, jabatan apa yang dia duduki sekarang. Pernah ada istilah cewek matre, seorang cewek yang menentukan kriteria cowok yang menjadi idamannya harus memiliki ini dan itu, semua tentang harta dan kedudukan. Mereka biasanya bilang, “Loh! Realistis, ‘kan? Memangnya kalau sudah kawin gue mau dikasih makan cinta doang?”
Tapi jangan salah loh, ada juga ternyata orang yang tidak begitu peduli dengan harta dan kedudukan. Kepuasan bagi orang ini timbul manakala dia dianggap sebagai orang yang pandai. Orang ini biasanya panda bicara. Sehingga seringkali tampil berceramah, berpidato, berdebat, dan segala urusan yang berhubungan dengan adu ilmu, dia jagonya. Apalagi kalau ada kesempatan berceramah di muka orang banyak, dia betah berjam-jam berbicara sendiri tak peduli yang mendengarkan sudah mengantuk dibuatnya.
Ada juga yang memiliki hobi bercinta. Kadang tak peduli hidupnya berantakan. Harta dan kedudukannya seringkali dikorbankan begitu saja untuk meraih kesenangan berupa hubungan antar individu yang sifatnya berlebihan.
Memang sekilas semuanya tampak realistis. Seseorang akan dipandang dari salah satu atau beberapa unsur dari 4-ta yang dimilikinya. Tidak jarang kita terlibat dalam pembicaraan ketika mengidentifikasi seseorang, misalnya:
Pembicaraan seperti itu sering terjadi secara situasional, artinya orang-orang yang terlibat pembicaraan biasanya terikat dalam situasi tertentu. Situasi ini secara tidak sadar sudah sama-sama disepakati. Kesepakatan ini melibatkan suatu kelompok masyarakat tertentu akhirnya membentuk sebuah budaya bagi masyarakat tersebut. Sebuah kebudayaan yang melekatkan predikat 4-ta kepada setiap orang untuk mengidentifikasinya.
Dengan situasi atau kebudayaan seperti inilah, masyarakat lalu dibikin keblinger dengan 4-ta. Menempatkan 4-ta pada posisi puncak, sebagai sebuah visi dalam hidup yang sama-sama disepakati sebagai sesuatu yang mutlak harus dipenuhi untuk memperoleh “kemuliaan” hidup.
Bahkan tak jarang visi ini ditempuh dengan suatu misi yang salah. Menghalalkan segala cara adalah salah satunya. Dalam hal harta, banyak contoh yang dilakukan orang dengan mengambil hak orang lain. Mulai dari pencuri kelas coro sampai koruptor kelas hiu! Saya tidak perlu membuat contoh, tentunya Anda dengan mudah bisa melihat sendiri contoh-contoh itu.
Dalam hal kedudukan, banyak dilakukan orang dengan “gaya katak”: injak bawahan, sikut kiri-kanan (teman selevel), jilat atasan. Orang seperti ini suka semena-mena kepada bawahan. Kepada teman-teman selevel tidak pernah berhenti dalam usahanya untuk menjatuhkan, mengkambinghitamkan setiap permasalahan yang ada, bahkan tega memfitnah teman. Kemudian apa yang dilakukan depan atasan adalah segala usaha untuk “cari muka”. Kalau Anda kebetulan seorang atasan yang memiliki anak buah seperti ini, Anda pasti pernah terbuai dengan jilatannya. Makanya, biasakan menjadi seorang atasan yang benar-benar bijak dan obyektif dalam menilai sikap bawahan.
Ada lagi tipe orang yang sok pintar. Saya banyak menemui orang-orang ini. Dalam hal tertentu dia sebenarnya tidak begitu mengerti, tapi caranya bicara meyakinkan seolah-olah dialah yang paling benar. Bahkan ada juga yang memang sebenarnya mengerti, tapi dia berusaha memutarbalikkan kebenaran untuk mencapai tujuan tertentu. Berurusan dengan orang seperti ini biasanya bikin capek hati! Tapi bisa juga Anda berada di posisi yang justru mengagumi orang ini.
Nah, tipe yang terakhir adalah tipe pengobral cinta. Janji manis menghiasi kepalsuan cintanya untuk mendapatkan keinginannya. Apalagi kalau punya modal tambahan berupa wajah yang cantik atau ganteng. Tapi biasanya kalau cewek lebih sering jadi pihak korban daripada pelaku. Jadi untuk para cewek, berhati-hatilah!
Sedemikian hebatnya 4-ta: harta, tahta, kata dan cinta. Anda mungkin juga tidak sadar bahwa saat Anda baca tulisan saya ini, Anda justru “pelaku” dari salah satu contoh di atas atau setidaknya Anda pernah melakukannya. Cobalah introspeksi. Jika Anda sadar, silahkan dicari dimana letak kesalahannya.
Jujur saja, kita mungkin pernah korupsi. Meskipun hanya sekedar korupsi waktu: sengaja datang terlambat ke kantor, memperpanjang waktu istirahat, atau pulang sebelum waktunya. Biarpun kadarnya kecil, yang namanya korupsi tetap saja korupsi! Memang sih, tidak bisa disamakan dengan korupsinya mereka yang kelasnya sudah seperti Gayus Tambunan! Tapi itu kan tinggal kesempatan. Kalaupun kita hanya bisa mengkorupsi waktu itu karena kita tidak punya kesempatan mengkorupsi uang sejumlah besar seperti yang dilakukan oleh Gayus.
Nah, sesekali juga mungkin kita pernah cari muka kepada atasan kita. Memang kadang kita merasa perlu melakukan itu. Yah, dalam kadar yang minimumlah! Tapi itu ‘kan menurut kita? Coba tanya teman kita di sebelah, mungkin menurut dia Andalah jagoannya dalam hal mencuri hati si Bos!
Apalagi urusan kata. Sependiam apapun seseorang, pasti punya semacam mekanisme pembelaan ego. Mekanisme ini salah satunya melalui pembicaraan. Pasti pernah dong Anda melakukan sesuatu yang disebut membual. Agar Anda terlihat sedikit pintar dari orang lain, Anda lantas ngotot mempertahankan pendapat Anda di depan orang, padahal jelas-jelas Anda tahu berada di posisi yang salah! Hmm... munafik betul sih?
Masalah cinta, memang bagi sebagian orang tidak mampu membedakannya dengan nafsu. Atas nama cinta, semua keinginan dia tempuh demi nafsunya untuk mendapatkan keinginan. Nah, disini sering terjadi “salah tafsir”. Nanti deh, kita bahas tersendiri soal cinta dan nafsu. Biasanya ini bahasan buat mereka yang masih abege, mereka yang masih mencari jatidiri. Tapi ternyata tidak jarang kesalahpahaman ini persisten hingga dewasa. Parah memang! Tapi apa daya, tidak ada sekolah cinta, sih! Jadi wajar kalau ada yang belajar cinta secara tidak benar dan ini banyak loh! Hal ini pula yang membentuk budaya masyarakat setempat seperti bahasan di awal tadi. Budaya keblinger! Lihat saja lagu-lagu yang populer adalah lagu bertemakan cinta. Tapi mana ada yang mengartikannya secara benar? Ada sih, tapi dikit! Justru malah menjadikannya sebagai lagu yang tidak populer!
Sekarang saya ingin memberikan pendapat saya. Pendapat ini mungkin nggak bisa diterima oleh beberapa orang. Tapi saya yakin kalau Anda sudah melewati masa perenungan yang cukup, Anda pasti bisa menerima pendapat saya ini, hehe! Saya perlu mengatakan ini supaya orang tidak lantas menganggap saya sok tahu, atau saya berlagak seperti sang Begawan yang sok suci dan sebagainya. Saya hanya mengajak berpikir sedikit lebih jernih saja. Kalau Anda tidak siap, sebaiknya ya... berhenti saja bacanya. Xixixi... :-P
Emmm... bisa jadi Anda memang lebih tahu tentang hal ini. Itu bagus! Saya berharap bisa berdiskusi kepada Anda. Barangkali referensi Anda akan memperkuat pendapat saya ini.
Sekarang saya paham mengapa orang sering salah mempersepsi 4-ta sebagai sebuah visi puncak tujuan bahagia dalam kemuliaan. Banyak orang memburu harta banyak, kedudukan yang tinggi, tapi tidak bahagia juga akhirnya. Nah, coba sekarang visi itu sedikit digeser. Sedikit saja. Visi kita letakkan pada kemuliaannya. Nah, dengan begitu kita akan bertanya, apa kemuliaan itu.
Kemuliaan disini artinya “berguna bagi sesama”. Jadi kekayaan, kedudukan, ilmu dan cinta itu akan menjadikan kita bahagia jika semua itu kita jadikan “senjata” untuk meraih kemuliaan. Kita manfaatkan sebesar-besarnya bagi orang lain, sejauh kita mampu dan ikhlas.
Jadi disini mencari uang itu hukumnya wajib, meraih kedudukan itu juga wajib. Apalagi menuntut ilmu untuk menjadikan kita pandai itu juga wajib. Mencintai sesama ciptaan Tuhan itu juga sangat wajib. Tapi tidak berhenti sampai di situ. Sejauh mana kemanfaatan harta, tahta, kata dan cinta itu kita persembahkan bagi sesama, nah itulah visi kita yang seharusnya.
Disinilah kecerdasan* Anda diuji. Kalau Anda berpikir bahwa berbagi kepada sesama itu berdampak merugikan bagi Anda, itu berarti Anda belum paham sampai disini. Saya coba contohkan secara sederhana: Sewaktu duduk di bangku Sekolah Dasar dulu saya pernah punya teman. Uang sakunya pada hari itu memang tidak akan bisa membuatnya kenyang untuk jenis makanan apapun. Lalu teman saya yang lain menyarankan untuk membaginya saja kepada pengemis yang biasa berdiri di depan pintu gerbang sekolah. Tapi teman saya yang pertama tadi itu malah marah-marah, “Kamu ini bagaimana? Untuk jajan saja tidak bisa bikin kenyang, kok masih mau dibagi lagi dengan orang lain?” Mendengar itu teman saya yang kedua tadi langsung menyahut, “Kamu ini sebenarnya yang bego! Kalau dipakai jajan tidak bisa bikin kenyang, kalau dibagi kan lebih bermanfaat? Siapa tahu uangmu itu akan menggenapi uang yang dimilikinya buat beli makanan hari ini. Nah sebagai gantinya, kamu pasti akan dapat yang lebih baik dari yang kamu punya sekarang!”
Jujur saja waktu itu saya hanya sebagai pendengar, saat itu saya kurang paham apa yang dimaksud oleh teman saya yang kedua tadi. Tapi untungnya saya masih mengingat percakapan itu dan sempat merenungkannya di kemudian hari, barulah saya paham. Nah, sebenarnya teman saya yang pinter atau saya yang telmi?
Jadi berbagi itu tidak harus menunggu kita memiliki dalam jumlah yang banyak, baru berbagi. Dalam keadaan tidak cukup itu bisa dibagi untuk kemanfaatan yang lebih baik.
Kembali ke pembicaraan tadi bahwa memburu harta, tahta, ilmu itu wajib. Berbagi dalam cinta itu juga wajib. Jadi jangan lagi mengatakan bahwa meraih itu semua tidak ada gunanya! Tapi kalau Anda berhenti dampai disitu saja, dengan memilikinya saja tidak cukup untuk membuat Anda disebut mulia. Membuat bahagia sih iya, tapi tidak akan lama. Apalagi kalau Anda pelit! Sama sekali tidak berguna bahkan akan menjadi sumber bencana bagi Anda. Itu pasti! Kalau Anda berbagi dengan ikhlas, disitulah kebahagiaan sejati akan Anda dapatkan.
*Insya Allah dalam kesempatan lain kita akan berbagi tentang bagaimana cara cerdas dalam memanfaatkan “senjata” berupa 4-ta ini dalam berburu kemuliaan. Setiap orang ada caranya sendiri-sendiri. Ada yang berlaku bagi Anda, tapi tidak bisa berlaku bagi saya, demikian pula sebaliknya. Jadi dapat dimaklumi kalau cara-cara tertentu bagi seseorang terasa mudah, tapi sebaliknya bagi orang lain terasa begitu berat.
Sebagian ada yang beranggapan bahwa harta dan tahta adalah segalanya. Alat ukur kesuksesan seseorang dinilai dari seberapa besar rumahnya, berapa banyak mobilnya, jabatan apa yang dia duduki sekarang. Pernah ada istilah cewek matre, seorang cewek yang menentukan kriteria cowok yang menjadi idamannya harus memiliki ini dan itu, semua tentang harta dan kedudukan. Mereka biasanya bilang, “Loh! Realistis, ‘kan? Memangnya kalau sudah kawin gue mau dikasih makan cinta doang?”
Tapi jangan salah loh, ada juga ternyata orang yang tidak begitu peduli dengan harta dan kedudukan. Kepuasan bagi orang ini timbul manakala dia dianggap sebagai orang yang pandai. Orang ini biasanya panda bicara. Sehingga seringkali tampil berceramah, berpidato, berdebat, dan segala urusan yang berhubungan dengan adu ilmu, dia jagonya. Apalagi kalau ada kesempatan berceramah di muka orang banyak, dia betah berjam-jam berbicara sendiri tak peduli yang mendengarkan sudah mengantuk dibuatnya.
Ada juga yang memiliki hobi bercinta. Kadang tak peduli hidupnya berantakan. Harta dan kedudukannya seringkali dikorbankan begitu saja untuk meraih kesenangan berupa hubungan antar individu yang sifatnya berlebihan.
Memang sekilas semuanya tampak realistis. Seseorang akan dipandang dari salah satu atau beberapa unsur dari 4-ta yang dimilikinya. Tidak jarang kita terlibat dalam pembicaraan ketika mengidentifikasi seseorang, misalnya:
Itu loh, si A yang istrinya banyak!
Itu tuh, yang rumahnya paling besar di ujung jalan!
Kamu sering lihat dia naik mobil mewah lewat jalan ini?
Tidak menyesal kamu kawin sama dia! Orangnya sudah mapan, manajer
perusahaan bertaraf internasional.
Pembicaraan seperti itu sering terjadi secara situasional, artinya orang-orang yang terlibat pembicaraan biasanya terikat dalam situasi tertentu. Situasi ini secara tidak sadar sudah sama-sama disepakati. Kesepakatan ini melibatkan suatu kelompok masyarakat tertentu akhirnya membentuk sebuah budaya bagi masyarakat tersebut. Sebuah kebudayaan yang melekatkan predikat 4-ta kepada setiap orang untuk mengidentifikasinya.
Dengan situasi atau kebudayaan seperti inilah, masyarakat lalu dibikin keblinger dengan 4-ta. Menempatkan 4-ta pada posisi puncak, sebagai sebuah visi dalam hidup yang sama-sama disepakati sebagai sesuatu yang mutlak harus dipenuhi untuk memperoleh “kemuliaan” hidup.
Bahkan tak jarang visi ini ditempuh dengan suatu misi yang salah. Menghalalkan segala cara adalah salah satunya. Dalam hal harta, banyak contoh yang dilakukan orang dengan mengambil hak orang lain. Mulai dari pencuri kelas coro sampai koruptor kelas hiu! Saya tidak perlu membuat contoh, tentunya Anda dengan mudah bisa melihat sendiri contoh-contoh itu.
Dalam hal kedudukan, banyak dilakukan orang dengan “gaya katak”: injak bawahan, sikut kiri-kanan (teman selevel), jilat atasan. Orang seperti ini suka semena-mena kepada bawahan. Kepada teman-teman selevel tidak pernah berhenti dalam usahanya untuk menjatuhkan, mengkambinghitamkan setiap permasalahan yang ada, bahkan tega memfitnah teman. Kemudian apa yang dilakukan depan atasan adalah segala usaha untuk “cari muka”. Kalau Anda kebetulan seorang atasan yang memiliki anak buah seperti ini, Anda pasti pernah terbuai dengan jilatannya. Makanya, biasakan menjadi seorang atasan yang benar-benar bijak dan obyektif dalam menilai sikap bawahan.
Ada lagi tipe orang yang sok pintar. Saya banyak menemui orang-orang ini. Dalam hal tertentu dia sebenarnya tidak begitu mengerti, tapi caranya bicara meyakinkan seolah-olah dialah yang paling benar. Bahkan ada juga yang memang sebenarnya mengerti, tapi dia berusaha memutarbalikkan kebenaran untuk mencapai tujuan tertentu. Berurusan dengan orang seperti ini biasanya bikin capek hati! Tapi bisa juga Anda berada di posisi yang justru mengagumi orang ini.
Nah, tipe yang terakhir adalah tipe pengobral cinta. Janji manis menghiasi kepalsuan cintanya untuk mendapatkan keinginannya. Apalagi kalau punya modal tambahan berupa wajah yang cantik atau ganteng. Tapi biasanya kalau cewek lebih sering jadi pihak korban daripada pelaku. Jadi untuk para cewek, berhati-hatilah!
Sedemikian hebatnya 4-ta: harta, tahta, kata dan cinta. Anda mungkin juga tidak sadar bahwa saat Anda baca tulisan saya ini, Anda justru “pelaku” dari salah satu contoh di atas atau setidaknya Anda pernah melakukannya. Cobalah introspeksi. Jika Anda sadar, silahkan dicari dimana letak kesalahannya.
Jujur saja, kita mungkin pernah korupsi. Meskipun hanya sekedar korupsi waktu: sengaja datang terlambat ke kantor, memperpanjang waktu istirahat, atau pulang sebelum waktunya. Biarpun kadarnya kecil, yang namanya korupsi tetap saja korupsi! Memang sih, tidak bisa disamakan dengan korupsinya mereka yang kelasnya sudah seperti Gayus Tambunan! Tapi itu kan tinggal kesempatan. Kalaupun kita hanya bisa mengkorupsi waktu itu karena kita tidak punya kesempatan mengkorupsi uang sejumlah besar seperti yang dilakukan oleh Gayus.
Nah, sesekali juga mungkin kita pernah cari muka kepada atasan kita. Memang kadang kita merasa perlu melakukan itu. Yah, dalam kadar yang minimumlah! Tapi itu ‘kan menurut kita? Coba tanya teman kita di sebelah, mungkin menurut dia Andalah jagoannya dalam hal mencuri hati si Bos!
Apalagi urusan kata. Sependiam apapun seseorang, pasti punya semacam mekanisme pembelaan ego. Mekanisme ini salah satunya melalui pembicaraan. Pasti pernah dong Anda melakukan sesuatu yang disebut membual. Agar Anda terlihat sedikit pintar dari orang lain, Anda lantas ngotot mempertahankan pendapat Anda di depan orang, padahal jelas-jelas Anda tahu berada di posisi yang salah! Hmm... munafik betul sih?
Masalah cinta, memang bagi sebagian orang tidak mampu membedakannya dengan nafsu. Atas nama cinta, semua keinginan dia tempuh demi nafsunya untuk mendapatkan keinginan. Nah, disini sering terjadi “salah tafsir”. Nanti deh, kita bahas tersendiri soal cinta dan nafsu. Biasanya ini bahasan buat mereka yang masih abege, mereka yang masih mencari jatidiri. Tapi ternyata tidak jarang kesalahpahaman ini persisten hingga dewasa. Parah memang! Tapi apa daya, tidak ada sekolah cinta, sih! Jadi wajar kalau ada yang belajar cinta secara tidak benar dan ini banyak loh! Hal ini pula yang membentuk budaya masyarakat setempat seperti bahasan di awal tadi. Budaya keblinger! Lihat saja lagu-lagu yang populer adalah lagu bertemakan cinta. Tapi mana ada yang mengartikannya secara benar? Ada sih, tapi dikit! Justru malah menjadikannya sebagai lagu yang tidak populer!
Sekarang saya ingin memberikan pendapat saya. Pendapat ini mungkin nggak bisa diterima oleh beberapa orang. Tapi saya yakin kalau Anda sudah melewati masa perenungan yang cukup, Anda pasti bisa menerima pendapat saya ini, hehe! Saya perlu mengatakan ini supaya orang tidak lantas menganggap saya sok tahu, atau saya berlagak seperti sang Begawan yang sok suci dan sebagainya. Saya hanya mengajak berpikir sedikit lebih jernih saja. Kalau Anda tidak siap, sebaiknya ya... berhenti saja bacanya. Xixixi... :-P
Emmm... bisa jadi Anda memang lebih tahu tentang hal ini. Itu bagus! Saya berharap bisa berdiskusi kepada Anda. Barangkali referensi Anda akan memperkuat pendapat saya ini.
Sekarang saya paham mengapa orang sering salah mempersepsi 4-ta sebagai sebuah visi puncak tujuan bahagia dalam kemuliaan. Banyak orang memburu harta banyak, kedudukan yang tinggi, tapi tidak bahagia juga akhirnya. Nah, coba sekarang visi itu sedikit digeser. Sedikit saja. Visi kita letakkan pada kemuliaannya. Nah, dengan begitu kita akan bertanya, apa kemuliaan itu.
Kemuliaan disini artinya “berguna bagi sesama”. Jadi kekayaan, kedudukan, ilmu dan cinta itu akan menjadikan kita bahagia jika semua itu kita jadikan “senjata” untuk meraih kemuliaan. Kita manfaatkan sebesar-besarnya bagi orang lain, sejauh kita mampu dan ikhlas.
Jadi disini mencari uang itu hukumnya wajib, meraih kedudukan itu juga wajib. Apalagi menuntut ilmu untuk menjadikan kita pandai itu juga wajib. Mencintai sesama ciptaan Tuhan itu juga sangat wajib. Tapi tidak berhenti sampai di situ. Sejauh mana kemanfaatan harta, tahta, kata dan cinta itu kita persembahkan bagi sesama, nah itulah visi kita yang seharusnya.
Disinilah kecerdasan* Anda diuji. Kalau Anda berpikir bahwa berbagi kepada sesama itu berdampak merugikan bagi Anda, itu berarti Anda belum paham sampai disini. Saya coba contohkan secara sederhana: Sewaktu duduk di bangku Sekolah Dasar dulu saya pernah punya teman. Uang sakunya pada hari itu memang tidak akan bisa membuatnya kenyang untuk jenis makanan apapun. Lalu teman saya yang lain menyarankan untuk membaginya saja kepada pengemis yang biasa berdiri di depan pintu gerbang sekolah. Tapi teman saya yang pertama tadi itu malah marah-marah, “Kamu ini bagaimana? Untuk jajan saja tidak bisa bikin kenyang, kok masih mau dibagi lagi dengan orang lain?” Mendengar itu teman saya yang kedua tadi langsung menyahut, “Kamu ini sebenarnya yang bego! Kalau dipakai jajan tidak bisa bikin kenyang, kalau dibagi kan lebih bermanfaat? Siapa tahu uangmu itu akan menggenapi uang yang dimilikinya buat beli makanan hari ini. Nah sebagai gantinya, kamu pasti akan dapat yang lebih baik dari yang kamu punya sekarang!”
Jujur saja waktu itu saya hanya sebagai pendengar, saat itu saya kurang paham apa yang dimaksud oleh teman saya yang kedua tadi. Tapi untungnya saya masih mengingat percakapan itu dan sempat merenungkannya di kemudian hari, barulah saya paham. Nah, sebenarnya teman saya yang pinter atau saya yang telmi?
Jadi berbagi itu tidak harus menunggu kita memiliki dalam jumlah yang banyak, baru berbagi. Dalam keadaan tidak cukup itu bisa dibagi untuk kemanfaatan yang lebih baik.
Kembali ke pembicaraan tadi bahwa memburu harta, tahta, ilmu itu wajib. Berbagi dalam cinta itu juga wajib. Jadi jangan lagi mengatakan bahwa meraih itu semua tidak ada gunanya! Tapi kalau Anda berhenti dampai disitu saja, dengan memilikinya saja tidak cukup untuk membuat Anda disebut mulia. Membuat bahagia sih iya, tapi tidak akan lama. Apalagi kalau Anda pelit! Sama sekali tidak berguna bahkan akan menjadi sumber bencana bagi Anda. Itu pasti! Kalau Anda berbagi dengan ikhlas, disitulah kebahagiaan sejati akan Anda dapatkan.
*Insya Allah dalam kesempatan lain kita akan berbagi tentang bagaimana cara cerdas dalam memanfaatkan “senjata” berupa 4-ta ini dalam berburu kemuliaan. Setiap orang ada caranya sendiri-sendiri. Ada yang berlaku bagi Anda, tapi tidak bisa berlaku bagi saya, demikian pula sebaliknya. Jadi dapat dimaklumi kalau cara-cara tertentu bagi seseorang terasa mudah, tapi sebaliknya bagi orang lain terasa begitu berat.
0 komentar:
Posting Komentar