Saat ini Depkominfo bersama jajarannya sedang menggalakkan pemblokiran terhadap sejumlah situs porno, agar tidak dapat lagi diakses lewat jejaring Internet di negeri ini. Lebih mengejutkan lagi data yang diungkapkan oleh Depkominfo menunjukkan bahwa negeri tercinta ini termasuk pengakses situs porno paling besar.
Ini sungguh mengerikan! Bukan mau munafik nih, saya juga sesekali mengakses beberapa konten porno untuk konsumsi pribadi, tapi saya nggak menyangka kalau melihat angka kunjungan ke situs porno yang ternyata jadi segede itu.
Selama ini saya mengukur diri sendiri, menikmati konten porno seperti itu menurut saya bukan suatu kebutuhan yang besar. Ala kadarnya saja, hanya sebagai penghias kehidupan seksual sehari-hari. Maksudnya sehari-hari nih, tentunya diluar dari aktivitas harian lainnya seperti: ngantor dari jam delapan pagi sampai jam lima sore, kadang molor sampai malam, habis itu mememani anak-anak belajar, dan selanjutnya kalau ada “greng” ya barulah ada aktivitas seksual bersama sang istri yang biasanya berlangsung di kamar sebelah kalau anak-anak sudah tidur. Itupun tidak setiap hari, karena ‘menyamakan gelombang’ hasrat antara suami dan istri ini tidak setiap saat bisa terjadi ‘interferensi’. Masih mending bisa seminggu sekali, kadang sampai lewat sebulan -dari menstruasi ke menstruasi berikutnya- tidak terjamah tuh istri. Hehe... . :-P
Maklum, saya sibuk, istri juga sibuk. Kadang kalau saya lagi pengen sesuatu, lalu sesuatu itu tidak saya dapatkan dari istri, nah barulah disitu konten porno dibutuhkan. Ini hanya sebagai pelampiasan sesaat yang saya anggap paling mudah ditolerir, terutama dari segi risiko. Jadi wajar bila lantas saya terkejut melihat eksploitasi konten porno yang cukup besar seperti itu, jelas itu anomali. Terlebih lagi mereka yang mengakses situs porno ini pada level remaja semakin banyak. Tahu apa sih mereka tentang seks? Saya tidak percaya kalau mereka itu sudah bener pemikirannya tentang seks.
Terus terang saya sangsi dengan pendidikan seks yang selama ini digembar-gemborkan di negeri ini. Memang benar, pendidikan seks harus diberikan sedini mungkin. Tapi yang saya sangsikan justru materi pendidikan seks itu. Apa benar sudah menyentuh ke segala aspek kehidupan yang wajib sekaligus diketahui oleh yang bersangkutan pada level usianya? Mestinya diikuti juga riset kecil-kecilan, setidaknya untuk mengetahui adanya perubahan pengetahuan, sikap dan perilaku seksual sebelum dan sesudah diberikan materi pendidikan seks. Jangan-jangan setelah mendapat pendidikan seks malah perbuatannya tambah parah? Nah, apanya yang salah?
Pendidikan seks saat ini masih mengadopsi materi yang didapat dari literatur-literatur barat. Kebanyakan para pemateri cuman kopi-paste saja, atau asal translit seperlunya tanpa memahami dahulu nilai-nilai yang sebelumnya sudah terkandung di dalam diri audiensnya. Di negeri ini, yang sejak nenek moyang mengajarkan bahwa seks itu tabu dibicarakan, itu dianggap keliru. Sekarang saatnya kebebasan. Saatnya transparasi ilmu pengetahuan. Saatnya semua orang tahu dan terbuka soal seks. Ada benarnya sih, tapi sayangnya ada yang dilupakan.
Perbedaan mendasar antara Barat dan Timur, salah satunya adalah kebudayaan. Ini perlu dipertanyakan kembali kepada diri kita masing-masing, bahwa bangsa kita dengan kebudayaan yang selama ini diajarkan turun temurun dari nenek moyang kita dulu sesungguhnya belum meresap ke dalam jiwa-jiwa kita. Sampai pada akhirnya kita menghadapi era globalisasi dengan gelombang informasi dan tekhnologinya yang sedemikian cepat berkembang. Jujur saya ingin katakan, sebenarnya sebagian besar dari kita belum siap menerima semua itu.
Bagi bangsa Barat mungkin kebebasan seks tidak akan menimbulkan masalah karena kebudayaannya memang seperti itu. Tapi bangsa kita kan beda? Dengan adanya globalisasi, kita seperti mengalami shock yang tak terelakkan lagi. Semua sudah terlanjur terjadi.
Lihat saja, betapa mengerikan data yang dibeberkan oleh Depkominfo tentang pengguna jasa Internet, ketika dihubungkan dengan masalah seks ini.
Seks, dalam budaya kita merupakan sesuatu yang sakral. Sedemikian sakralnya, sehingga hubungan seks hanya boleh dilakukan dalam wadah pernikahan yang sakral pula. Dari sekian banyak macam ritual pernikahan, semua melambangkan kesucian. Sebagai contohnya, dalam kebudayaan Jawa Tengah (ini contoh mudah bagi saya sebagai orang yang pernah menikah disana) ada prosesi ritual mandi dengan air sumur dari tujuh sumber mata air bagi calon mempelai putri. Ini melambangkan kesucian. Kesucian yang tidak cukup hanya diperoleh dengan mandi dari sumurnya sendiri, melainkan dari tujuh sumber yang berbeda-beda. Jaman dahulu kala, mungkin sumur tidak mudah dijumpai seperti sekarang. Sekarang sudah hampir semua rumah punya sumur, bagi yang tidak punya, pasti ada langganan air minum dari Perusahaan Daerah. Jadi bisa dibayangkan waktu itu betapa sulitnya mencapai sebuah arti kesucian yang dilambangkan dengan kewajiban memperoleh air dari tujuh sumur atau mata air yang berbeda-beda hanya untuk ritual mandi. Hal ini secara tidak langsung akan menguji akhlak dari calon mempelai, kalau ia kesulitan mendapatkan tujuh mata air, berarti ada “apa-apanya”. Kalau akhlaknya baik, niscaya tujuh sumber mata air itu bisa didapatnya dengan mudah.
Nah, contoh ini menggambarkan betapa besarnya makna kesucian dalam pernikahan. Jadi jelas bahwa seks itu sesuatu yang erat kaitannya dengan perkara spiritual. Tidak sembarangan dibicarakan (asal ngomong), apalagi dilakukan. Sesuatu yang berbau spiritual itu erat kaitannya dengan hubungan atara ruh manusia dengan Tuhannya. Itulah mengapa mendekati zina itu dilarang oleh agama dan merupakan dosa besar apabila dilakukan. Itu perbuatan keji namanya. Tapi di budaya Barat tidak ada ajaran seperti ini.
Inilah yang selama ini dilupakan oleh pembawa materi dalam menyampaikan pendidikan seks. Membatasi seolah-olah seks hanya merupakan masalah manusiawi belaka, sesuatu yang harusnya dinikmati dalam hubungan antar manusia sebagai makhluk bio-psiko-sosial (melupakan spiritualnya). Dikatakan juga bahwa kebutuhan akan seks sama halnya dengan kebutuhan akan makan, minum, dan berpakaian. Nah, ini kan jelas nggak bener? Nggak benernya dalam hal penerapannya.
Okelah, sekarang kita bebenah. Gelombang informasi tidak bisa dibendung lagi. Usaha-usaha memblokir situs porno biar saja dilakukan, nggak perlu ada yang sakit hati, nggak perlu kecewa, sadar! Insyaf!
Media massa juga nih, iklan-iklan, sinetron-sinetron, aduh! Konten dewasanya mbok ya dibatasi dulu! Kita-kita belum siap nih, Bok! Bisa-bisa meledak hasrat seksual kita ke tetangga sebelah dengan anak gadisnya yang masih hijau! Astaghfirullah!
0 komentar:
Posting Komentar