Rupanya berita soal tuduhan yang ditujukan kepada Ariel Peterpan, Luna Maya dan Cut Tari atas dua video mesum yang disebut-sebut pemerannya mirip mereka, kini menjadi topik heboh ditengah masyarakat, terutama para penggosip dan sejenisnya. Bareskim Mabes Polri pun sampai turun tangan untuk mengusut siapa yang menjadi otak dan pelaku penyebaran pertama kali video ini, begitupun pembuatnya.
Di era tekhnologi sekarang ini, dimana pertukaran dokumen elektronik begitu mudah dilakukan, video yang bocor itu juga bisa dengan mudah disebarkan ke mana-mana. Tak susah-susah amat orang menemukannya di situs-situs pertukaran dokumen di dunia maya. Begitu sebuah video porno diunggah, tak butuh keajaiban untuk menyebarkan dalam tempo singkat. Jejaring media sosial seperti Facebook dan Twitter merupakan sarana yang sangat ampuh untuk mempopulerkannya.
Lebih celaka lagi, konsumen terbesar materi pornografi adalah anak SD, SMP, dan SMA. Merekalah sebenarnya konsumen utama dunia maya. Dokumen-dokumen yang paling tersembunyi pun bisa mereka temukan. Bahkan hanya dengan sekali klik, mereka bisa bertukar-menukar dokumen berupa gambar atau video antar teman.
Nah, giliran para orang tua yang memiliki anak remaja jadi pusing! Anak-anak yang sebenarnya belum matang secara psikologis dan sosial ini bukan tak mungkin akan mencontoh adegan porno yang beredar melalui Internet, handphone, dan sebagainya.
Hal ini telah memicu gerakan anak muda Indonesia: “Jangan Bugil di Depan Kamera” (JBDK) pada 11 April 2007, dimulai di sebuah acara diskusi bersama mahasiswa FISIKOM UPN Yogjakarta. Embrio gerakan ini berusaha menyebarkan pesan untuk tidak terjebak dalam arus pornografi.
Langkah awal dari gerakan ini adalah bersama-sama melakukan janji bersama, sumpah bersama untuk tidak bugil di depan kamera. Tentu sangat tidak mudah mengajak kaum muda yang darahnya masih panas ini untuk berhenti melakukan eksperimen “bergaya bokep”.
Penyalahgunaan perangkat telekomunikasi seperti HP yang memiliki fasilitas perekam video memang kian marak. 500 lebih cuplikan film porno dibuat para pelakunya atas dasar senang-senang ataupun secara tidak sengaja. Ternyata sebagian dijadikan alat kejahatan (rekaman perkosaan, penistaan, pelecehan).
Jika pada tahun 2007 menurut sumber diatas peredaran video porno yang melibatkan remaja dan diproduksi oleh kalangan remaja melalui kamera telepon seluler ada sekitar 500 video, kini angkanya sudah berlipat-lipat. Diperkirakan ada sekitar 750 hingga 900 video porno lokal yang sudah beredar. Ini benar-benar gila!
Disadari memang sangat sulit untuk menghentikan atau mengurangi peredaran video-video porno amatiran ini hanya dengan melakukan janji atau sumpah bersama. Namun bisa jadi ini merupakan gerakan moral yang patut didukung oleh berbagai pihak. Mengajak teman dekat, sahabat, saudara, atau siapapun untuk berjanji agar tidak bugil di depan kamera bisa jadi merupakan salah satu kegiatan yang patut kita coba.
Membuat video pribadi untuk konsumsi privat memang tak melanggar hukum. Namun dokumen ini rawan bocor ke tangan orang lain. Jika sampai jatuh ke tangan orang yang tak berhak, bisa runyam akibatnya, seperti yang terjadi pada kasus video yang hari-hari ini membuat heboh itu. Yang menjadi pelaku bukan saja akan menuai aib, tapi kemungkinan mendapat sanksi sosial, dikeluarkan dari sekolah, kehilangan kontrak, diperiksa polisi, dan seterusnya.
“Jangan Bugil di depan Kamera” membuat saya terbayang anak-anak yang berjejal warnet-warnet untuk berburu gambar mesum. Dulu pada jaman saya masih remaja, tekhnologi memang tidak sehebat sekarang ini. Saya mengenal warnetpun justru setelah saya lulus kuliah. Kalaupun ada gambar-gambar mesum, sebagian besar hanya dari produk luar negeri, pelakunya terutama para bule yang sedang berpose sensual atau beradegan intim. Tapi sekarang, fenomena Ariel-Luna-Cut Tari melengkapi literatur porno produk dalam negeri.
Sekarang saya giliran menjadi orang-orang tua dengan wajah yang mulai cemas melihat itu semua. Tekhnologi begitu cepat berkembang, dampaknya sudah luar biasa. Disamping sisi positifnya, juga sisi negatifnya tidak kalah hebat. Saya memiliki dua orang anak yang keduanya perempuan. Sebagaimana kita tahu, berlakunya standar ganda dalam hal tingkat permisifitas seksual, menempatkan posisi anak perempuan sebagai pihak paling rawan. Kejadian hamil di luar nikah merupakan risiko yang nilainya lebih besar pada anak perempuan dibanding anak laki-laki.
Memang sekarang mereka berdua masih kecil-kecil. Yang bungsu baru kelas tiga SD, sementara adiknya masih 16 bulan. Tapi saya sudah terbayang apa yang akan mereka alami di saat mereka menginjak usia remaja nanti.
Berperilaku overprotektif terhadap mereka saya yakin justru tidak akan berdampak baik, tapi juga jangan sampai kecolongan. Makanya, mulai sekarang mari kita sebagai orang tua juga sudah mulai mengajak berperilaku seksual yang sehat. Mengajarkan pendidikan seks pada anak sedini mungkin, tentu saja pada proporsinya. Kalau memang sudah saatnya mereka tahu, jangan malah dibuat penasaran.
Jangan sampai anak kita justru memperoleh informasi-informasi seks dari sumber-sumber yang tidak jelas. Rasa penasaran ini akan memperosokkannya ke dalam kesalahan jika sumber yang mereka dapatkan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Apalagi jika di dalam pergaulan, mereka tidak diawasi, sangat berbahaya jika informasi-informasi yang mereka dapatkan dari orang-orang atau teman sebaya yang sama-sama tidak memahami informasi tersebut.
Pengetahuan yang mereka miliki akan memperngaruhi sikapnya. Sikap inilah yang akan membentuk perilaku. Demikian halnya pengetahuan seks akan mempengaruhi perilaku seksualnya.
Banyak orang tua justru malu menyampaikan informasi seks kepada anaknya. Apalagi budaya yang melekat pada masyarakat kita, bicara seks merupakan hal yang tabu, pantang dibicarakan. Tetapi apakah paradigma ini tidak akan pernah berubah jika melihat kenyataan pertukaran informasi yang hebat seperti sekarang ini? Jangan pernah menutup mata tentang apa yang terjadi jika informasi yang tidak benar menyebar lebih cepat dari informasi yang benar dan proporsional untuk anak-anak kita sendiri.
Lebih celaka lagi, konsumen terbesar materi pornografi adalah anak SD, SMP, dan SMA. Merekalah sebenarnya konsumen utama dunia maya. Dokumen-dokumen yang paling tersembunyi pun bisa mereka temukan. Bahkan hanya dengan sekali klik, mereka bisa bertukar-menukar dokumen berupa gambar atau video antar teman.
Nah, giliran para orang tua yang memiliki anak remaja jadi pusing! Anak-anak yang sebenarnya belum matang secara psikologis dan sosial ini bukan tak mungkin akan mencontoh adegan porno yang beredar melalui Internet, handphone, dan sebagainya.
Hal ini telah memicu gerakan anak muda Indonesia: “Jangan Bugil di Depan Kamera” (JBDK) pada 11 April 2007, dimulai di sebuah acara diskusi bersama mahasiswa FISIKOM UPN Yogjakarta. Embrio gerakan ini berusaha menyebarkan pesan untuk tidak terjebak dalam arus pornografi.
Langkah awal dari gerakan ini adalah bersama-sama melakukan janji bersama, sumpah bersama untuk tidak bugil di depan kamera. Tentu sangat tidak mudah mengajak kaum muda yang darahnya masih panas ini untuk berhenti melakukan eksperimen “bergaya bokep”.
Penyalahgunaan perangkat telekomunikasi seperti HP yang memiliki fasilitas perekam video memang kian marak. 500 lebih cuplikan film porno dibuat para pelakunya atas dasar senang-senang ataupun secara tidak sengaja. Ternyata sebagian dijadikan alat kejahatan (rekaman perkosaan, penistaan, pelecehan).
Dilihat dari proporsi pelakunya juga cukup mencengangkan. Sebuah sumber menyebutkan, 90% adegan cuplikan film porno dilakukan oleh anak muda SMA dan Mahasiswa. 8% berasal dari rekaman prostitusi, para pejabat negara dan pemerintah (DPR dan Pegawai Negeri). 2% nya adalah cuplikan kamera tersembunyi yang mengambil gambar para wanita-wanita muda yang sedang bugil tanpa sadar di toilet ataupun di kamar hotel.Sumber ini pernah disampaikan oleh Sony Set, penulis buku dan praktisi pertelevisian di sela-sela jumpa pers untuk acara bedah bukunya yang berjudul '500 Plus, Gelombang Video Porno Indonesia" terbitan penerbit Andi di Jogja Medianet, Minggu tanggal 26 Agustus 2007.
Jika pada tahun 2007 menurut sumber diatas peredaran video porno yang melibatkan remaja dan diproduksi oleh kalangan remaja melalui kamera telepon seluler ada sekitar 500 video, kini angkanya sudah berlipat-lipat. Diperkirakan ada sekitar 750 hingga 900 video porno lokal yang sudah beredar. Ini benar-benar gila!
Disadari memang sangat sulit untuk menghentikan atau mengurangi peredaran video-video porno amatiran ini hanya dengan melakukan janji atau sumpah bersama. Namun bisa jadi ini merupakan gerakan moral yang patut didukung oleh berbagai pihak. Mengajak teman dekat, sahabat, saudara, atau siapapun untuk berjanji agar tidak bugil di depan kamera bisa jadi merupakan salah satu kegiatan yang patut kita coba.
Membuat video pribadi untuk konsumsi privat memang tak melanggar hukum. Namun dokumen ini rawan bocor ke tangan orang lain. Jika sampai jatuh ke tangan orang yang tak berhak, bisa runyam akibatnya, seperti yang terjadi pada kasus video yang hari-hari ini membuat heboh itu. Yang menjadi pelaku bukan saja akan menuai aib, tapi kemungkinan mendapat sanksi sosial, dikeluarkan dari sekolah, kehilangan kontrak, diperiksa polisi, dan seterusnya.
“Jangan Bugil di depan Kamera” membuat saya terbayang anak-anak yang berjejal warnet-warnet untuk berburu gambar mesum. Dulu pada jaman saya masih remaja, tekhnologi memang tidak sehebat sekarang ini. Saya mengenal warnetpun justru setelah saya lulus kuliah. Kalaupun ada gambar-gambar mesum, sebagian besar hanya dari produk luar negeri, pelakunya terutama para bule yang sedang berpose sensual atau beradegan intim. Tapi sekarang, fenomena Ariel-Luna-Cut Tari melengkapi literatur porno produk dalam negeri.
Sekarang saya giliran menjadi orang-orang tua dengan wajah yang mulai cemas melihat itu semua. Tekhnologi begitu cepat berkembang, dampaknya sudah luar biasa. Disamping sisi positifnya, juga sisi negatifnya tidak kalah hebat. Saya memiliki dua orang anak yang keduanya perempuan. Sebagaimana kita tahu, berlakunya standar ganda dalam hal tingkat permisifitas seksual, menempatkan posisi anak perempuan sebagai pihak paling rawan. Kejadian hamil di luar nikah merupakan risiko yang nilainya lebih besar pada anak perempuan dibanding anak laki-laki.
Memang sekarang mereka berdua masih kecil-kecil. Yang bungsu baru kelas tiga SD, sementara adiknya masih 16 bulan. Tapi saya sudah terbayang apa yang akan mereka alami di saat mereka menginjak usia remaja nanti.
Berperilaku overprotektif terhadap mereka saya yakin justru tidak akan berdampak baik, tapi juga jangan sampai kecolongan. Makanya, mulai sekarang mari kita sebagai orang tua juga sudah mulai mengajak berperilaku seksual yang sehat. Mengajarkan pendidikan seks pada anak sedini mungkin, tentu saja pada proporsinya. Kalau memang sudah saatnya mereka tahu, jangan malah dibuat penasaran.
Jangan sampai anak kita justru memperoleh informasi-informasi seks dari sumber-sumber yang tidak jelas. Rasa penasaran ini akan memperosokkannya ke dalam kesalahan jika sumber yang mereka dapatkan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Apalagi jika di dalam pergaulan, mereka tidak diawasi, sangat berbahaya jika informasi-informasi yang mereka dapatkan dari orang-orang atau teman sebaya yang sama-sama tidak memahami informasi tersebut.
Pengetahuan yang mereka miliki akan memperngaruhi sikapnya. Sikap inilah yang akan membentuk perilaku. Demikian halnya pengetahuan seks akan mempengaruhi perilaku seksualnya.
Banyak orang tua justru malu menyampaikan informasi seks kepada anaknya. Apalagi budaya yang melekat pada masyarakat kita, bicara seks merupakan hal yang tabu, pantang dibicarakan. Tetapi apakah paradigma ini tidak akan pernah berubah jika melihat kenyataan pertukaran informasi yang hebat seperti sekarang ini? Jangan pernah menutup mata tentang apa yang terjadi jika informasi yang tidak benar menyebar lebih cepat dari informasi yang benar dan proporsional untuk anak-anak kita sendiri.
0 komentar:
Posting Komentar