Seperti makhluk yang aneh, seperti kuda yang berlari kencang. Bagaikan ular melilit-lilit dengan mulut apinya yang membakar. Dia juga tidak pernah mau berhenti, seperti ombak lautan yang membelai pantai. Mesra, tapi kadang binasa.
Seperti juga kataku, gemericik air tak lagi terdengar pelan. Semakin deras bagai hujan menghujam bumi. Lalu dimanakah aku? Sembunyi dan lari dari semua itu?
Aku menikmatinya. Seperti halnya lelaki, tak mau menangis. Sedikit lebih tegar dari pohon cemara yang tertiup angin.
Seperti malam-malam sebelumnya. Kutatap ke langit di pekat hitamnya malam. Satu bintang disana. Jelas berbinar untukku. Tapi dia tidak akan pernah datang kemari menghiasi hari-hariku. Lalu kupikir semuanya telah berakhir. Setelah malam berganti, aku tak kuasa untuk menahan diri. Bintang itu, ya, aku ingin menatapnya lagi. Di setiap sunyi selalu ada nyanyian untuknya. Api rinduku, yang biasanya menghangatkanku, terkadang membakar begitu panas. Seperti yang sudah-sudah, suhu panas ini mengisi relung-relung yang dalam, bahkan sampai di puncak dan memayungi ujung-ujung yang tinggi.
Seperti biasa, aku hanya tersenyum. Geli. Tapi hati tidak bisa berbohong, bahwa bayang-bayang ini sungguh memperdayaku. Terus menerus.
Sepertinya.... Akh, aku jadi malu. Aku belum cukup dewasa untuk bertemu denganmu. Padahal aku sudah memenangkan hatimu. Aku nikmati setiap pelarianku.
Seperti apa nantinya? Trus kalau kenyataannya pahit, bagaimana? Entahlah. Hanya Sang Waktu yang tahu. Kenyataan pahit tak perlu dipikirkan sekarang. Memang kutemukan sebuah taman, tapi tak ada kemungkinan untuk tentram.
Seperti yang dulu, hanya akar-akar tumbuh menjalar. Semakin melar, semakin kekar, dan semakin mekar.
Seperti gelombang, yang merapat dan merenggang. Membelai dan menyiksa. Menghadirkan senyum dan tangis, membutakan mata dan memanjakannya, membenci dan merindu, datang dan pergi silih berganti.
Seperti menikmati hiburan di televisi. Tertawa di depan televisi sudah biasa, tidak lagi dianggap gila. Hanya berbeda sedikit saja.
Sepertinya malam ini aku tak kuasa lagi untuk berhenti menyambutmu. Menghamburkan diri keluar dari keramaian dan menuju ke tanah lapang. Menatap lagi bintangmu. Meskipun pernah satu malam, dimana aku merasa tidak perlu menatap bintang-bintang itu, lebih baik tidur saja, buat apa menatap bintang, nggak seru! Namun ternyata itu tidak akan lama. Aku kembali terbuai, meski berat langkahku keluar dari istanaku sekedar untuk mencari rasi bintang Virgo, dengan gambar perawan desa yang lugu itu. Perawan desa yang datang pertama kali dengan pakaian bidadari, turun ke bumi sekedar untuk mandi. Lalu Sang Jaka Tarub datang mencuri pakaian itu dan berlagak seperti pahlawan yang hendak menolong dengan harapan bisa bersanding mesra dengannya. Lalu akupun membayangkan kemesraan itu dengan nyanyian-nyanyian nggak pantes jaman sekarang, dan sesekali kembali ke lagu-lagu jadul. Mendengar lagu-lagu itu, langit kelam dibelakang bintangmu sedang menertawaiku. “Oh, kasihan. Sang Pangeran Katak dalam tempurung! Sedang apa kau?” tanyanya penuh curiga.
Seperti Pangeran Katak, katanya. Dalam tempurung lagi? Tempurung dalam dimensi virtual yang penuh kebohongan. Hmmm... memang!
0 komentar:
Posting Komentar