Hari Senin, 30 Maret 2009 - Akhirnya semua berjalan sesuai rencana. Plan B! Wow! Seru nih!
Emang sih niatnya nggak mau nolongin sendiri. Rasa sakit sudah dimulai sejak jam 10 malam. Karena rasa sakitnya masih jarang-jarang, jadi baru jam 12 malam dibawa ke klinik bersalin. Sesampainya disana saya percayakan sepenuhnya kepada bidan-bidan yang bertugas, karena saya pikir mereka sudah profesional dan jauh lebih tinggi jam terbangnya dalam hal menolong persalinan. Sehingga ketika mereka katakan bahwa belum ada pembukaan dan persalinan masih lama, ditambah rekomendasi untuk tidak masuk rawat inap (pulang dulu saja) ya pulanglah kami. Bahkan sebelum pulang masih sempat makan malam di warung Ikan Bakar dekat klinik situ.
Sesampainya di rumah, seperti dugaanku, nyeri yang dirasakan istriku datang semakin sering. Jeritannya pun semakin keras. Karena petugas di klinik mengatakan bahwa persalinan mungkin masih lama, perkiraanku siang hari baru akan bersalin.
Namun setelah bertahan sampai kira-kira 5 jam, tepat pukul 5 pagi menurutku saat yang tepat untuk kembali ke klinik. Aku bergegas ke kantor untuk mengambil mobil kantor. Membangunkan penjaga malam yang sedang tertidur di kantor merupakan tantangan pertama. Setelah terbangun, pintupun dibuka. Tantangan selanjutnya mencari kunci mobil itu. Biasanya sih di ruang Kepala Seksi Administrasi/Keuangan. Takutnya ruangannya terkunci juga, takutnya lagi laci tempat menyimpan kunci itu juga terkunci lagi. Wah... makin banyak lagi tantangannya nih.
Mobil pun akhirnya sempat kubawa ke rumah. Persiapan selanjutnya memasang perlak plastik di kursinya, agar bercak darah yang muengkin keluar tidak mengotori kursi dan interior mobil yang berfungsi untuk Customer Service itu.
Semua keperluan sudah terpaking rapi di travel bag. Tinggal naik!
Saat kuhampiri kamar istriku, jeritan terdengar paling keras dari yang tadi kudengar. saat kuajak berjalan ke mobil, istriku kelihatannya sudah tak sanggup lagi. Putar otak karena aku tak kuasa mengangkat istriku seorang diri, sementara orang-orang masih tertidur lelap di jam sepagi itu. Tangankupun langsung meraih handphone di saku celana dan memanggil seorang petugas kesehatan di Puskesmas yang kukenal sebagai istri seorang rekan kerja di perusahaanku. Harapanku beliau bisa memanggil bidan untuk istriku. Bakalan lahir di rumah nih!
Air panas! Ya, itulah yang sekarang juga harus disiapkan. Seorang mahasiswi yang memang disiapkan oleh istriku untuk tinggal di rumah dalam rangka persiapan persalinannya kusuruh memanaskan air. Sementara aku mempersiapkan alat-alat yang kuperlukan sesuai plan B. Karena jika sang bidan tak kunjung datang, aku harus menolong sendiri persalinan ini.
Betul juga perkiraanku. Bidan itu belum datang juga dan istriku sudah tidak mengerang lagi. Katanya sudah tidak sakit lagi, tetapi ia tak kuasa menahan "sesuatu" yang hendak keluar dari perutnya itu. Tak lama kepala sang bayi pun tampak di "pintu keluar". Kusuruh istriku sedikit mengejan untuk segera mengeluarkan bayi secara keseluruhan agar tidak terlalu lama terjepit di jalan lahir.
Pukul 5 lewat 55 menit. Hampir jam 6 lah! Sang bayipun meluncur keluar dan segera kubalik dari posisinya yang tengkurap. Seorang bayi mungil yang masih dilumuri bercak darah dan serpihan vornix caseosa itu membuka mulutnya dan terpejam. Tak lama kemudian tangisan keras meledak dalam kamar... Alhamdulillaah... Perempuan lagi!
Semoga guntingku ini sudah cukup steril hanya dengan lumuran Betadin. Sebuah klem menjepit tali pusat di sebelah sang ibu, dan ikatan kassa steril terlumur Betadin di sebelah sang bayi. Ditengah-tengah, guntingku siap memenggalnya. Bismillaahirrahmaanirrahiim... Putus!
Segera kubalut sang bayi dengan kain yang sudah siap kemudian kudekatkan di sebelah kanan ibunya.
Rupanya tangis sang bayi membangunkan tetanggaku. Mereka datang tepat bersamaan dengan sang bidan. Masih kusisihkan pekerjaan buat bu bidan: melahirkan plasenta.
Air panasnya sudah siap, taruh di ember lalu ditambah air dingin sampai cukup hangat.
Rupanya ibu petugas kesehatan yang datang bersama bu bidan sudah lebih lihai memandikan bayi. Kupasrahkan pada beliau untuk memandikannya. Akupun cukup melihat-lihat apa yang perlu dibereskan.
Hmm... Well!
Emang sih niatnya nggak mau nolongin sendiri. Rasa sakit sudah dimulai sejak jam 10 malam. Karena rasa sakitnya masih jarang-jarang, jadi baru jam 12 malam dibawa ke klinik bersalin. Sesampainya disana saya percayakan sepenuhnya kepada bidan-bidan yang bertugas, karena saya pikir mereka sudah profesional dan jauh lebih tinggi jam terbangnya dalam hal menolong persalinan. Sehingga ketika mereka katakan bahwa belum ada pembukaan dan persalinan masih lama, ditambah rekomendasi untuk tidak masuk rawat inap (pulang dulu saja) ya pulanglah kami. Bahkan sebelum pulang masih sempat makan malam di warung Ikan Bakar dekat klinik situ.
Sesampainya di rumah, seperti dugaanku, nyeri yang dirasakan istriku datang semakin sering. Jeritannya pun semakin keras. Karena petugas di klinik mengatakan bahwa persalinan mungkin masih lama, perkiraanku siang hari baru akan bersalin.
Namun setelah bertahan sampai kira-kira 5 jam, tepat pukul 5 pagi menurutku saat yang tepat untuk kembali ke klinik. Aku bergegas ke kantor untuk mengambil mobil kantor. Membangunkan penjaga malam yang sedang tertidur di kantor merupakan tantangan pertama. Setelah terbangun, pintupun dibuka. Tantangan selanjutnya mencari kunci mobil itu. Biasanya sih di ruang Kepala Seksi Administrasi/Keuangan. Takutnya ruangannya terkunci juga, takutnya lagi laci tempat menyimpan kunci itu juga terkunci lagi. Wah... makin banyak lagi tantangannya nih.
Mobil pun akhirnya sempat kubawa ke rumah. Persiapan selanjutnya memasang perlak plastik di kursinya, agar bercak darah yang muengkin keluar tidak mengotori kursi dan interior mobil yang berfungsi untuk Customer Service itu.
Semua keperluan sudah terpaking rapi di travel bag. Tinggal naik!
Saat kuhampiri kamar istriku, jeritan terdengar paling keras dari yang tadi kudengar. saat kuajak berjalan ke mobil, istriku kelihatannya sudah tak sanggup lagi. Putar otak karena aku tak kuasa mengangkat istriku seorang diri, sementara orang-orang masih tertidur lelap di jam sepagi itu. Tangankupun langsung meraih handphone di saku celana dan memanggil seorang petugas kesehatan di Puskesmas yang kukenal sebagai istri seorang rekan kerja di perusahaanku. Harapanku beliau bisa memanggil bidan untuk istriku. Bakalan lahir di rumah nih!
Air panas! Ya, itulah yang sekarang juga harus disiapkan. Seorang mahasiswi yang memang disiapkan oleh istriku untuk tinggal di rumah dalam rangka persiapan persalinannya kusuruh memanaskan air. Sementara aku mempersiapkan alat-alat yang kuperlukan sesuai plan B. Karena jika sang bidan tak kunjung datang, aku harus menolong sendiri persalinan ini.
Betul juga perkiraanku. Bidan itu belum datang juga dan istriku sudah tidak mengerang lagi. Katanya sudah tidak sakit lagi, tetapi ia tak kuasa menahan "sesuatu" yang hendak keluar dari perutnya itu. Tak lama kepala sang bayi pun tampak di "pintu keluar". Kusuruh istriku sedikit mengejan untuk segera mengeluarkan bayi secara keseluruhan agar tidak terlalu lama terjepit di jalan lahir.
Pukul 5 lewat 55 menit. Hampir jam 6 lah! Sang bayipun meluncur keluar dan segera kubalik dari posisinya yang tengkurap. Seorang bayi mungil yang masih dilumuri bercak darah dan serpihan vornix caseosa itu membuka mulutnya dan terpejam. Tak lama kemudian tangisan keras meledak dalam kamar... Alhamdulillaah... Perempuan lagi!
Semoga guntingku ini sudah cukup steril hanya dengan lumuran Betadin. Sebuah klem menjepit tali pusat di sebelah sang ibu, dan ikatan kassa steril terlumur Betadin di sebelah sang bayi. Ditengah-tengah, guntingku siap memenggalnya. Bismillaahirrahmaanirrahiim... Putus!
Segera kubalut sang bayi dengan kain yang sudah siap kemudian kudekatkan di sebelah kanan ibunya.
Rupanya tangis sang bayi membangunkan tetanggaku. Mereka datang tepat bersamaan dengan sang bidan. Masih kusisihkan pekerjaan buat bu bidan: melahirkan plasenta.
Air panasnya sudah siap, taruh di ember lalu ditambah air dingin sampai cukup hangat.
Rupanya ibu petugas kesehatan yang datang bersama bu bidan sudah lebih lihai memandikan bayi. Kupasrahkan pada beliau untuk memandikannya. Akupun cukup melihat-lihat apa yang perlu dibereskan.
Hmm... Well!
0 komentar:
Posting Komentar