Angin menghembus pelan, menggerakkan daun-daun nyiur yang hanya tampak sebagai bayang-bayang di depan langit gelap kebiruan. Suara alam pun tenggelam, bergantikan suara serangga-serangga menjemput malam. Bahkan hatipun tak sanggup memaknai apa kata alam ini kepadanya. Rasanya telah terlalu jauh tersesat di sebuah ujung dunia fana, entah dimana.
Kenapa pula tiba-tiba terhenti disini. Seperti ada semacam kerapuhan didalam sehingga hilang semua keramaian yang kemarin. Tersadar lagi akan ketololan yang tak sengaja terpelihara sampai sekarang. Seolah-olah inikah hakikat yang ada: rapuh, pada saat kiri dan kanan tergelayut beban yang harus dipikul.
Hati merasa terhempas, terlempar ke tepi sebuah masa dimana hanya ada ketololan yang menyertai. Sendiri: tanpa anak dan istri, tanpa pekerjaan, tanpa harta, tanpa jiwa, tanpa Tuhan!
Pemandangan yang indah dan seksi hanyalah kesementaraan yang selalu habis dalam sesaat. Semua telah berubah temaram seperti senja ini. Senja dimana angin menghembus, menggerakkan daun-daun nyiur yang hanya tampak sebagai bayangan gelap di depan sisa-sisa terangnya langit biru.
Begitu rupanya sedari dahulu, gelap tanpa sinar menerangi tatkala tak ada lagi tempat untuk bertanya. Tak ada pula tali tempat bergelayut. Hidup dalam belantara primitif seperti masa lalu yang sepi. Biarpun sang waktu telah menyeret sampai seabad kedepanpun akan tetap sepi.
Mungkin memang hanya mimpi bahwa suatu saat kelak benua fana ini tidak sekedar sempurna. Lalu buat apa harus disesali manakala tempat tinggal ini tidak pernah memberi apa-apa kecuali hanya sedikit senyuman diantara kekecewaan dan penyesalan.
Inikah samudra luas di depan mimpi itu?
Samudra pemberi kebebasan alam semesta: rimba primitif dengan keterbatasan pilihan. Masih tetaplah embun pagi yang menetes dan mengikuti arus air, sampai ke selokan-selokan. Dari selokan-selokan itulah mengalir limbah masa lalu yang gelap dan sepi: tanpa lampu, tanpa siaran radio dan televisi, hanya koneksi Internet yang sering putus. Masih tetap sumpah serapah jugalah yang ada di mulut. Bukan semacam keharuman kata-kata mutiara.
Inikah samudra luas kenyataan itu?
Alam semesta yang hanya memberi cerita tentang Katak dalam Tempurung, Pangeran yang Terbunuh, Candi Batu yang Tak Pernah Jadi Seribu, Sang Bidadari Dungu, serta Langit Kelabu yang Tak Pernah Membiru. Semua hanya cerita tentang Neraka masa lalu dan Neraka masa kini, tak jauh dari kisah-kisah penderitan orang.
Kenapa pula tiba-tiba terhenti disini. Seperti ada semacam kerapuhan didalam sehingga hilang semua keramaian yang kemarin. Tersadar lagi akan ketololan yang tak sengaja terpelihara sampai sekarang. Seolah-olah inikah hakikat yang ada: rapuh, pada saat kiri dan kanan tergelayut beban yang harus dipikul.
Hati merasa terhempas, terlempar ke tepi sebuah masa dimana hanya ada ketololan yang menyertai. Sendiri: tanpa anak dan istri, tanpa pekerjaan, tanpa harta, tanpa jiwa, tanpa Tuhan!
Pemandangan yang indah dan seksi hanyalah kesementaraan yang selalu habis dalam sesaat. Semua telah berubah temaram seperti senja ini. Senja dimana angin menghembus, menggerakkan daun-daun nyiur yang hanya tampak sebagai bayangan gelap di depan sisa-sisa terangnya langit biru.
Begitu rupanya sedari dahulu, gelap tanpa sinar menerangi tatkala tak ada lagi tempat untuk bertanya. Tak ada pula tali tempat bergelayut. Hidup dalam belantara primitif seperti masa lalu yang sepi. Biarpun sang waktu telah menyeret sampai seabad kedepanpun akan tetap sepi.
Mungkin memang hanya mimpi bahwa suatu saat kelak benua fana ini tidak sekedar sempurna. Lalu buat apa harus disesali manakala tempat tinggal ini tidak pernah memberi apa-apa kecuali hanya sedikit senyuman diantara kekecewaan dan penyesalan.
Inikah samudra luas di depan mimpi itu?
Samudra pemberi kebebasan alam semesta: rimba primitif dengan keterbatasan pilihan. Masih tetaplah embun pagi yang menetes dan mengikuti arus air, sampai ke selokan-selokan. Dari selokan-selokan itulah mengalir limbah masa lalu yang gelap dan sepi: tanpa lampu, tanpa siaran radio dan televisi, hanya koneksi Internet yang sering putus. Masih tetap sumpah serapah jugalah yang ada di mulut. Bukan semacam keharuman kata-kata mutiara.
Inikah samudra luas kenyataan itu?
Alam semesta yang hanya memberi cerita tentang Katak dalam Tempurung, Pangeran yang Terbunuh, Candi Batu yang Tak Pernah Jadi Seribu, Sang Bidadari Dungu, serta Langit Kelabu yang Tak Pernah Membiru. Semua hanya cerita tentang Neraka masa lalu dan Neraka masa kini, tak jauh dari kisah-kisah penderitan orang.
Langganan:
Postingan (Atom)