Aku jadi teringat kepada seorang dokter yang menjadi dosen pembimbingku waktu masih koassisten ketika memasuki stasis Ilmu Kesehatan Anak. Dokter dengan wajah garang, kepalanya botak mengkilap, bicaranya keras, galak killer, seolah tidak mengenal basa-basi. Dia juga selalu menunjukkan dirinya yang up to date untuk ilmu-ilmu kedokterannya, sehingga ia tidak terdebatkan, tak terbantahkan, tak ada yang bisa menyalahkannya karena pada dasarnya dialah yang paling up-to-date!
Seperti biasanya, setiap pagi aku harus mempersiapkan semua mulai dari Anamnesis pasien baru, follow up pasien lama dan memberikan beberapa usulan terapi atau tindakan, sebelum akhirnya mengikuti dokter itu untuk visite setiap pasien yang ada di bangsal Anak. Suasana tegang selalu menyertai hari-hariku karena tak ada hari tanpa dimarah-marahi. “Otakmu itu kamu taruh di pantat, kamu kentuti tiap hari, gimana nggak gebleg kamu!” begitu kata-kata yang selalu terngiang di setiap koassisten yang memang sedang tidak beruntung sepertiku. Gebleg itu bodoh, lebih bodoh dari goblog. Bayangkan saja orang goblog masih bisa diajari jadi pinter, tapi yang gebleg ini sudah payah.
Pada suatu ketika pak Dokter tidak bisa hadir di RS karena ada acara selama beberapa hari di luar kota. Hatiku senang tiada kepalang karena setidaknya hari-hariku akan ada semacam relaksasi, jauh dari stressing yang merenggut setiap harinya. Sebagai pengganti sementara adalah bu Dokter senior dalam SMF Anak saat itu.
Kebetulan baru banyak pasien di SMF Anak, kebetulan lagi, baru musim demam berdarah (DB/DHF). Banyak pasien DB dirawat disana dan semuanya tidak bermasalah karena penanganan pasien-pasien ini sudah ada protapnya, tinggal dijalankan.
Tentu saja aku sangat memaklumi dengan gaya pengobatan tiap-tiap dokter. Ilmu Kedokteran ibaratnya suatu seni pengobatan. Jadi wajar-wajar saja ketika bu Dokter menambahkan anti-infeksi dan juga vitamin penambah nafsu makan.
Hari-haripun berlalu, dan habis pulalah hari-hari santaiku. Kembali kepada hari-hari yang menegangkan, menyeramkan, penuh teriakan, wah,pokoknya kayak di film horor aja deh! Pak dokter was back, and we were gonna be killed!
Tapi aku dan teman-temanku sudah siap. Karena setidaknya selama beberapa hari ini refreshing, kini siap diteror lagi.
“Apa ini? Ini pasien apa?” teriaknya membuka pagi yang hening, dikeheningan bangsal pasien-pasien yang sebagian masih tertidur.
“Ini observasi febris, Dok! Hari keempat suspek DHF” kebetulan aku yang jawab karena matanya kebetulan tertuju padaku waktu menanyakan itu.
“Kamu tahu Protap DHF tidak?” tanyanya kembali setelah membaca status pasien.
“Tahu, dok!”
Dalam protap DHF yang berlaku waktu itu disebutkan antara lain Infus RL, Paracetamol, Serial HB, Hct, AL, AT tiap 6 jam, awasi tanda-tanda perdarahan, awasi tanda-tanda syok.
“Lha trus ini apa?” sambil menunjuk ke status yang tadi dibacanya.
“Antibiotik dan vitamin itu bu dokter kemarin yang memberi, Dok!” aku mencoba mencari aman.
Sambil meringis sinis, pak dokter itu berkata,”Kamu sama gurumu itu sama-sama geblegnya!”
“Protap DHF ini disusun oleh para dokter ahli, Professor-professor, orang-orang pilihan bukan orang-orang sembarang. Protap ini juga disusun dalam suatu forum dengan pembahasan yang alot! Berhari-hari mereka bahas ini untuk menghasilkan protap itu. Lalu gurumu yang gebleg itu seenaknya saja mengubah protap dengan menambah vitamin.”katanya sambil geleng-geleng.
“Sama seperti kamu kan? Nggak pernah belajar! Gebleg aja terus!” tambahnya.
Kata-katanya itu diulang-ulangnya di keesokan hari dan hampir di setiap pertemuan dengannya. Setidaknya tertanam bahwa Antibiotik tidak diperlukan pada kasus DHF! Apalagi vitamin.
Bertahun-tahun kemudian kujalani diriku sebagai dokter. Kulihat ada banyak sekali dokter-dokter gebleg yang menerapi DHF dengan antibiotik. Bahkan ketika diriku sendiri terkapar sebagai pasien DHF, aku hanya bisa pasrah dijejali antibiotik, antiemetik, anti nyeri kepala, bahkan jus jambu, buah anggur merah segar, Buavita, Pocari Sweat, ... makin jauh dari protap!
Tapi aku hanya diam karena aku merasa telah kembali kepada kegebleganku yang dulu dan tetap beranggapan bahwa mereka semua termasuk dokter yang merawatku adalah dokter gebleg sebagaimana aku. Ada secercah harapan mereka telah menimba ilmu baru sehingga penatalaksanaan DB/DHF memang sudah melalui perkembangan yang pesat, sehingga mereka memang tidak gebleg.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar