Mata terbelalak dari tidur ketika mendengar suara telepon seluler berbunyi tepat di pukul enam pagi. Dengan malas kuangkat, tiba-tiba suara anakku meledak di telingaku mengatakan kalau dirinya hari ini berulang tahun. Suaranya semakin lantang dengan kata-kata khas dari logat Ternate. Semakin lama semakin cerewet saja anak itu sampai ibunya sering marah karena sering menyela ketika orang sedang sibuk membicarakan masalah-masalah yang serius. Tapi ia tetap anak yang manis, sayang sama orang tuanya dan bisa mengerti bila diberi nasihat, dorongan maupun larangan akan sesuatu hal.
Dialah Hani, anakku yang baru satu-satunya. Orang tuanya belum mau memberinya adik karena berbagai alasan yang menggunung. Alasan ekonomi yang klasik, tapi entah mengapa justru dia dulu hadir pada saat ayah dan ibunya masih sama-sama jadi pengangguran.
Hanya beberapa saat setelah dia hadir di dunia ini, lima tahun yang lalu, aku baru memperoleh panggilan kerja. Di tempat kerja itu aku mulai merasakan gaji tetap, meskipun hanya sebagai pegawai tidak tetap. Hanya bekerja tiga tahun disana, kontrak kerja telah habis dan tidak bisa diperpanjang lagi.
Selang beberapa bulan, pas semua tabungan hampir habis dan berakhir dengan terjualnya sepasang cincin kawin, panggilan datang dari pekerjaan baru yang menyuruhku pergi ke Ternate, Maluku Utara. Daripada menganggur, untuk melanjutkan hidup dan membeli susu buat anakku, akhirnya kujalani juga walau berat.
Singkat cerita, setelah dua tahun di Ternate bekerja sebagai seorang karyawan kantor yang bergelut dengan administrasi dan komputer akhirnya aku memperoleh SK Promosi dari seorang Karyawan Pelaksana menjadi Asisten Manajer. Tetapi sekaligus Mutasi ke Gorontalo.
Setelah terbit SK itu akupun harus segera beranjak meninggalkan Ternate tanpa harus menunggu lama. Waktuku tersisa hanya untuk mengurus pindahan barang-barang, sementara istriku mengurus pekerjaannya yang belum selesai dan anakku masih testing di semester I Sekolah Dasar.
Dialah Hani, anakku yang baru satu-satunya. Orang tuanya belum mau memberinya adik karena berbagai alasan yang menggunung. Alasan ekonomi yang klasik, tapi entah mengapa justru dia dulu hadir pada saat ayah dan ibunya masih sama-sama jadi pengangguran.
Hanya beberapa saat setelah dia hadir di dunia ini, lima tahun yang lalu, aku baru memperoleh panggilan kerja. Di tempat kerja itu aku mulai merasakan gaji tetap, meskipun hanya sebagai pegawai tidak tetap. Hanya bekerja tiga tahun disana, kontrak kerja telah habis dan tidak bisa diperpanjang lagi.
Selang beberapa bulan, pas semua tabungan hampir habis dan berakhir dengan terjualnya sepasang cincin kawin, panggilan datang dari pekerjaan baru yang menyuruhku pergi ke Ternate, Maluku Utara. Daripada menganggur, untuk melanjutkan hidup dan membeli susu buat anakku, akhirnya kujalani juga walau berat.
Singkat cerita, setelah dua tahun di Ternate bekerja sebagai seorang karyawan kantor yang bergelut dengan administrasi dan komputer akhirnya aku memperoleh SK Promosi dari seorang Karyawan Pelaksana menjadi Asisten Manajer. Tetapi sekaligus Mutasi ke Gorontalo.
Setelah terbit SK itu akupun harus segera beranjak meninggalkan Ternate tanpa harus menunggu lama. Waktuku tersisa hanya untuk mengurus pindahan barang-barang, sementara istriku mengurus pekerjaannya yang belum selesai dan anakku masih testing di semester I Sekolah Dasar.
0 komentar:
Posting Komentar